Senin, 16 Januari 2017

ETIKA PROFESI AKUNTANSI DAN REVIEW PELANGGARAN ETIKA SKANDAL MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN PT. KAI TAHUN 2006

       I.             Profesi
1.      Pengertian Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian yang diperoleh dari lembaga pendidikan khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggung jawabkan. Seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu disebut professional, sedangkan professional sendiri mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya (Agus Ariyanto, 2011: 27).

2.      Ciri-ciri dari Profesi
a.         Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis
Seorang professional harus memiliki pengetahuan teoretis  dan keterampilan mengenai bidang teknik yang ditekuni dan bisa diterapkan dalam pelaksanaanya atau prakteknya dalam kehidupan sehari-hari.
b.        Asosiasi Profesional
Merupakan suatu badan organisasi yang biasanya diorganisasikan oleh anggota profesi yang bertujuan untuk meningkatkan status para anggotanya.
c.         Pendidikan yang Ekstensi
Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi. Seorang professional dalam bidang teknik mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi baik itu dalam suatu pendidikan formal ataupun non formal.
d.        Ujian Kompetisi
Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
e.         Pelatihan institutional
Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
f.         Lisensi
Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
g.        Otonomi kerja
Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
h.        Kode etik
Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
i.          Mengatur diri
Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
j.          Layanan publik dan altruism
Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
k.        Status dan imbalan yang tinggi
Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.

    II.            Etika Profesi

1.      Pengertian Etika Profesi
Etika profesi menurut keiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.

2.      Pengertian Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah system norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik yaitu agar professional memberikan  jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak professional.

3.      8 Prinsip Etika Profesi Akuntansi
1.      Tanggung jawab profesi, dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
2.      Kepentingan publik, dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanupulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.
3.      Integritas, dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan.
4.      Objektifitas, dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
5.      Kompetensi dan kehati-hatian  professional, akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun laporan keuangan mengalami keuntungan.
6.      Kerahasiaan, akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Dalam kasusun ini akuntan sudah menerapkan prinsip kerahasiaan karena hanya melaporkan laporan yang dapat dipublikasikan saja.
7.      Perilaku profesional, akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melaporkan laporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
8.      Standar teknis, akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.


4.      Tiga Fungsi dari Kode Etik Profesi

a.         Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi  tentang prinsip profesionalitas yang digariskan
b.        Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat  atas profesi yang bersangkutan
c.         Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi  profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi

Kasus Pelanggaran Etika Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. KAI tahun 2006
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan.  Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 :
1.      Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
2.      Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
3.      Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4.      Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
5.      Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek. (Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006).
Kasus PT KAI di atas menurut beberapa sumber yang saya dapat, berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan itu wajar. Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.
Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan harus mendapat perhatian khusus dan tindakan tegas perlu dilakukan. http://adhiesuseno.blogspot.co.id/2015/09/analisis-kasus-pelanggaran-etika.html


Pembahasan
Berdasarkan kasus yang terjadi didalam PT. KAI dapat disimpulkan bahwa Laporan Keuangan PT KAI disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan laporan keuangan itu wajar. Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi yang menurut saya, akuntan internal di PT. KAI belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika akuntan. Kedelapan prinsip akuntan tersebut yaitu:
1.      Tanggung jawab profesi, dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.

2.      Kepentingan publik, dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanupulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.


3.      Integritas, dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan.

4.      Objektifitas, dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.


5.      Kompetensi dan kehati-hatian  professional, akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun laporan keuangan mengalami keuntungan.

6.      Kerahasiaan, akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Dalam kasusun ini akuntan sudah menerapkan prinsip kerahasiaan karena hanya melaporkan laporan yang dapat dipublikasikan saja.


7.      Perilaku profesional, akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melaporkan laporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.

8.      Standar teknis, akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
SARAN :
Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.
Managemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.
Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.

Daftar Pustaka

Agus Arijanto. 2011.Etika Bisnis bagi Pelaku Bisnis.Rajawali Pers.Jakarta.
Kanisius.2000.Pengantar Etika Bisnis.Penerbit Kanisius.Yogyakarta.
Suhrawardi Lubis K.1994.Etika Profesi Hukum.Sinar Grafika.Jakarta

Pelanggaran Etika Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. KAI tahun 2006/http://adhiesuseno.blogspot.co.id/Diakses : 11 Oktober 2016

Etika Profesi Akuntansi PERSPEKTIF TENTANG ETIKA PROFESI MENURUT AKUNTAN PUBLIK DAN AKUNTAN PENDIDIK DI SURABAYA (Riview)


Nama Kelompok:
Dwi Puspita Agustin
Hana Rizki Apriliani
Nurul Maghfiroh Jufrin
Puti Melati Khalishah
Yulia Cahyani

Kelas: 4EB22





Universitas Gunadarma
2016-2017
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi akuntan publik dan akuntan pendidik pada etika profesional. Analisis ini didasarkan pada jawaban responden yang diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan di Surabaya. Populasi penelitian ini adalah akuntan publik di Surabaya dan akuntan pendidik yang bekerja di 5 kursus akuntansi terbaik di Surabaya yang memiliki akreditasi yaitu A Universitas Katolik Widya Mandala, Universitas Kristen Petra, Universitas Surabaya, Universitas Airlangga, STIE Perbanas. Penelitian ini menggunakan metode sampling. Untuk menguji perbedaan homogenitas varians data yang digunakan Hasil Sample T-Test Independent penelitian menunjukkan ada perbedaan persepsi antara akuntan publik dan pendidik akuntan pada etika profesional. Tapi tidak semua variabel penelitian yang menyatakan ada perbedaan, ada dua variabel dari delapan variabel yang digunakan dalam penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan persepsi antara akuntan publik dan pendidik akuntan yaitu variabel profesional tanggung jawab dan integritas variabel. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan persepsi antara akuntan publik dengan akuntan pendidik.
Jenis penelitian  ini  adalah  penelitian  survei,  yaitu  peneliti  mengajukan  pertanyaan  kepada  subjek  dan  mengumpulkan jawaban secara personal atau non personal. Dalam penelitian ini, pengaruh yang diteliti meliputi perbedaan persepsi terhadap etika profesi. Penelitian ini dilihat dari 2 sudut pandang yang berbeda yakni dilihat dari akuntan pendidik dan akuntan publik. Kedua sudut pandang ini digunakan sebagai independent sample test.
Pengukuran variabel penelitian ini diambil dari delapan prinsip etika dalam kode etik akuntan yang ditetapkan pada Kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta pada tahun 1998 yang berlaku bagi seluruh anggota IAI yaitu:
1.      Tanggung jawab profesi
2.      Kepentingan public
3.      Integritas
4.      Objektivitas
5.      Kompetensi dan kehati-hatian professional
6.      Kerahasiaan
7.      Perilaku professional
8.      Standar teknis
Metode pengumpulan data adalah metode survei. Penelitian ini menggunakan kuesioner dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan. Teknik kuesioner adalah teknik pengumpulan data dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan yang terdiri dari kasus-kasus praktik etika profesi kepada responden. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) Tahap persiapan, (2) Tahap pelaksanaan, dan (3) Tahap analisa data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akuntan publik dan akuntan pendidik memiliki persepsi yang berbeda terhadap  etika  profesi  melalui  kode  etik  profesi  akuntan  publik  Indonesia  sebagaimana  dinyatakan  dalam  IAPI, meskipun secara deskriptif kedua kelompok mempunyai persepsi yang baik terhadap kode etik profesi akuntan. Untuk variabel  tanggung jawab profesi dan  variabeintegritas baik akuntan  publik maupun  akuntan  pendidik,  keduanya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan terhadap etika profesi Hal tersebut disebabkan karena mereka pada dasarnya berpedoman pada kode etik yang sama yang telah diterbitkan oleh IAPI sehingga mereka memiliki  dasar  pemikiran  yang  sama  mengenai  etika  profesi.  Akan  tetapi  untuk  variabel  kepentingan  publik, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian professional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan variabel standar teknis memiliki perbedaan karena baik akuntan publik maupun akuntan pendidik memiliki pandangan yang berbeda, mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Adanya perbedaan tersebut lebih banyak dipengaruhi karena faktor perbedaan pandangan antara akuntan publik dan akuntan pendidik mengenai etika profesi yang termuat pada kode etik akuntan pada pelaksanaan kode etik dalam penerapannya di lapangan. Akuntan publik sebagai pelaksana praktis yang juga merupakan bisnis mereka tentunya mengharapkan sedikit kelonggaran dalam penerapan teknis kode etik akuntan, khususnya yang dinilai menghambat usaha mereka dalam mendapatkan  klien.  Sebaliknya  akuntan  pendidik tentunymemiliki pemikiran  yang bersifat harapan besar bahwa kode etik IAPI tersebut dapat mengubah pandangan profesi akuntan sebagai profesi yang lebih baik yang dibatasi oleh norma-norma kesepakatan yang akan menguntungkan bagi semua pihak yang terkait dengan proses akuntansi.
Berdasarkan  hasil  analisiterhadap  data  yang  dikumpulkan,  maka  dapat  diambil  kesimpulan.  Kesimpulan tersebut adalah hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan persepsi akuntan publik dan akuntan pendidik dalam hal ini diterima. Namun, tidak semua variabel mengalami perbedaan persepsi. Untuk variabel tanggung jawab profesi dan integritas tidak memiliki perbedaan persepsi karena mereka berpedoman pada kode etik yang sama sehingga mereka memiliki dasar pemikiran yang sama mengenai etika profesi. Sedangkan untuk variabel lainnya mengalami perbedaan persepsi karena faktor perbedaan sudut pandang mengenai pelaksanaan kode etik dalam penerapannya di lapangan.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan,yaitu:
1.      Obyek penelitian ini adalah akuntan publik dan akuntan pendidik. Dalam hal ini keterbatasan terletak pada beberapa profesi akuntan lain yang belum dapat diperoleh persepsi mereka, sehingga akan memungkinkan penilaian persepsi yang berbeda pada kelompok akuntan lain tersebut.
2.      Penelitiaini hanya memfokuskan pada prinsip-prinsip etika dalam kode etik akuntan  saja, tidak memberikan gambaran mengenai aturan etika dan interpretasi aturan etika.
3.      Berbedanya usia responden dari akuntan publik dan akuntan pendidik serta berbedanya pendidikan terakhir yang dimiliki oleh  kedua akuntan  sehingga dapat membedakan pandangan  mereka karena terbatasoleh  banyaknya pengalaman serta pendidikan yang dikuasainya.
4.      Penelitian ini dalam penyebaran kuesioner pada waktu akhir tahun sehingga mengalami kesulitan untuk mencari akuntan  pendidiyang  juga  bekerja  atau  pernah  bekerja  sebagai  akuntan  publik  sehingga responden  akuntan pendidik murni hanya sebagai akuntan pendidik.


Senin, 16 Januari 2017

ETIKA PROFESI AKUNTANSI DAN REVIEW PELANGGARAN ETIKA SKANDAL MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN PT. KAI TAHUN 2006

       I.             Profesi
1.      Pengertian Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian yang diperoleh dari lembaga pendidikan khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggung jawabkan. Seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu disebut professional, sedangkan professional sendiri mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya (Agus Ariyanto, 2011: 27).

2.      Ciri-ciri dari Profesi
a.         Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis
Seorang professional harus memiliki pengetahuan teoretis  dan keterampilan mengenai bidang teknik yang ditekuni dan bisa diterapkan dalam pelaksanaanya atau prakteknya dalam kehidupan sehari-hari.
b.        Asosiasi Profesional
Merupakan suatu badan organisasi yang biasanya diorganisasikan oleh anggota profesi yang bertujuan untuk meningkatkan status para anggotanya.
c.         Pendidikan yang Ekstensi
Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi. Seorang professional dalam bidang teknik mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi baik itu dalam suatu pendidikan formal ataupun non formal.
d.        Ujian Kompetisi
Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
e.         Pelatihan institutional
Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
f.         Lisensi
Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
g.        Otonomi kerja
Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
h.        Kode etik
Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
i.          Mengatur diri
Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
j.          Layanan publik dan altruism
Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
k.        Status dan imbalan yang tinggi
Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.

    II.            Etika Profesi

1.      Pengertian Etika Profesi
Etika profesi menurut keiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.

2.      Pengertian Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah system norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik yaitu agar professional memberikan  jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak professional.

3.      8 Prinsip Etika Profesi Akuntansi
1.      Tanggung jawab profesi, dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
2.      Kepentingan publik, dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanupulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.
3.      Integritas, dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan.
4.      Objektifitas, dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
5.      Kompetensi dan kehati-hatian  professional, akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun laporan keuangan mengalami keuntungan.
6.      Kerahasiaan, akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Dalam kasusun ini akuntan sudah menerapkan prinsip kerahasiaan karena hanya melaporkan laporan yang dapat dipublikasikan saja.
7.      Perilaku profesional, akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melaporkan laporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
8.      Standar teknis, akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.


4.      Tiga Fungsi dari Kode Etik Profesi

a.         Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi  tentang prinsip profesionalitas yang digariskan
b.        Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat  atas profesi yang bersangkutan
c.         Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi  profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi

Kasus Pelanggaran Etika Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. KAI tahun 2006
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan.  Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 :
1.      Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
2.      Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
3.      Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4.      Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
5.      Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek. (Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006).
Kasus PT KAI di atas menurut beberapa sumber yang saya dapat, berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan itu wajar. Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.
Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan harus mendapat perhatian khusus dan tindakan tegas perlu dilakukan. http://adhiesuseno.blogspot.co.id/2015/09/analisis-kasus-pelanggaran-etika.html


Pembahasan
Berdasarkan kasus yang terjadi didalam PT. KAI dapat disimpulkan bahwa Laporan Keuangan PT KAI disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan laporan keuangan itu wajar. Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi yang menurut saya, akuntan internal di PT. KAI belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika akuntan. Kedelapan prinsip akuntan tersebut yaitu:
1.      Tanggung jawab profesi, dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.

2.      Kepentingan publik, dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanupulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.


3.      Integritas, dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan.

4.      Objektifitas, dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.


5.      Kompetensi dan kehati-hatian  professional, akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun laporan keuangan mengalami keuntungan.

6.      Kerahasiaan, akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Dalam kasusun ini akuntan sudah menerapkan prinsip kerahasiaan karena hanya melaporkan laporan yang dapat dipublikasikan saja.


7.      Perilaku profesional, akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melaporkan laporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.

8.      Standar teknis, akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
SARAN :
Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.
Managemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.
Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.

Daftar Pustaka

Agus Arijanto. 2011.Etika Bisnis bagi Pelaku Bisnis.Rajawali Pers.Jakarta.
Kanisius.2000.Pengantar Etika Bisnis.Penerbit Kanisius.Yogyakarta.
Suhrawardi Lubis K.1994.Etika Profesi Hukum.Sinar Grafika.Jakarta

Pelanggaran Etika Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. KAI tahun 2006/http://adhiesuseno.blogspot.co.id/Diakses : 11 Oktober 2016

Etika Profesi Akuntansi PERSPEKTIF TENTANG ETIKA PROFESI MENURUT AKUNTAN PUBLIK DAN AKUNTAN PENDIDIK DI SURABAYA (Riview)


Nama Kelompok:
Dwi Puspita Agustin
Hana Rizki Apriliani
Nurul Maghfiroh Jufrin
Puti Melati Khalishah
Yulia Cahyani

Kelas: 4EB22





Universitas Gunadarma
2016-2017
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi akuntan publik dan akuntan pendidik pada etika profesional. Analisis ini didasarkan pada jawaban responden yang diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan di Surabaya. Populasi penelitian ini adalah akuntan publik di Surabaya dan akuntan pendidik yang bekerja di 5 kursus akuntansi terbaik di Surabaya yang memiliki akreditasi yaitu A Universitas Katolik Widya Mandala, Universitas Kristen Petra, Universitas Surabaya, Universitas Airlangga, STIE Perbanas. Penelitian ini menggunakan metode sampling. Untuk menguji perbedaan homogenitas varians data yang digunakan Hasil Sample T-Test Independent penelitian menunjukkan ada perbedaan persepsi antara akuntan publik dan pendidik akuntan pada etika profesional. Tapi tidak semua variabel penelitian yang menyatakan ada perbedaan, ada dua variabel dari delapan variabel yang digunakan dalam penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan persepsi antara akuntan publik dan pendidik akuntan yaitu variabel profesional tanggung jawab dan integritas variabel. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan persepsi antara akuntan publik dengan akuntan pendidik.
Jenis penelitian  ini  adalah  penelitian  survei,  yaitu  peneliti  mengajukan  pertanyaan  kepada  subjek  dan  mengumpulkan jawaban secara personal atau non personal. Dalam penelitian ini, pengaruh yang diteliti meliputi perbedaan persepsi terhadap etika profesi. Penelitian ini dilihat dari 2 sudut pandang yang berbeda yakni dilihat dari akuntan pendidik dan akuntan publik. Kedua sudut pandang ini digunakan sebagai independent sample test.
Pengukuran variabel penelitian ini diambil dari delapan prinsip etika dalam kode etik akuntan yang ditetapkan pada Kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta pada tahun 1998 yang berlaku bagi seluruh anggota IAI yaitu:
1.      Tanggung jawab profesi
2.      Kepentingan public
3.      Integritas
4.      Objektivitas
5.      Kompetensi dan kehati-hatian professional
6.      Kerahasiaan
7.      Perilaku professional
8.      Standar teknis
Metode pengumpulan data adalah metode survei. Penelitian ini menggunakan kuesioner dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan. Teknik kuesioner adalah teknik pengumpulan data dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan yang terdiri dari kasus-kasus praktik etika profesi kepada responden. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) Tahap persiapan, (2) Tahap pelaksanaan, dan (3) Tahap analisa data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akuntan publik dan akuntan pendidik memiliki persepsi yang berbeda terhadap  etika  profesi  melalui  kode  etik  profesi  akuntan  publik  Indonesia  sebagaimana  dinyatakan  dalam  IAPI, meskipun secara deskriptif kedua kelompok mempunyai persepsi yang baik terhadap kode etik profesi akuntan. Untuk variabel  tanggung jawab profesi dan  variabeintegritas baik akuntan  publik maupun  akuntan  pendidik,  keduanya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan terhadap etika profesi Hal tersebut disebabkan karena mereka pada dasarnya berpedoman pada kode etik yang sama yang telah diterbitkan oleh IAPI sehingga mereka memiliki  dasar  pemikiran  yang  sama  mengenai  etika  profesi.  Akan  tetapi  untuk  variabel  kepentingan  publik, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian professional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan variabel standar teknis memiliki perbedaan karena baik akuntan publik maupun akuntan pendidik memiliki pandangan yang berbeda, mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Adanya perbedaan tersebut lebih banyak dipengaruhi karena faktor perbedaan pandangan antara akuntan publik dan akuntan pendidik mengenai etika profesi yang termuat pada kode etik akuntan pada pelaksanaan kode etik dalam penerapannya di lapangan. Akuntan publik sebagai pelaksana praktis yang juga merupakan bisnis mereka tentunya mengharapkan sedikit kelonggaran dalam penerapan teknis kode etik akuntan, khususnya yang dinilai menghambat usaha mereka dalam mendapatkan  klien.  Sebaliknya  akuntan  pendidik tentunymemiliki pemikiran  yang bersifat harapan besar bahwa kode etik IAPI tersebut dapat mengubah pandangan profesi akuntan sebagai profesi yang lebih baik yang dibatasi oleh norma-norma kesepakatan yang akan menguntungkan bagi semua pihak yang terkait dengan proses akuntansi.
Berdasarkan  hasil  analisiterhadap  data  yang  dikumpulkan,  maka  dapat  diambil  kesimpulan.  Kesimpulan tersebut adalah hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan persepsi akuntan publik dan akuntan pendidik dalam hal ini diterima. Namun, tidak semua variabel mengalami perbedaan persepsi. Untuk variabel tanggung jawab profesi dan integritas tidak memiliki perbedaan persepsi karena mereka berpedoman pada kode etik yang sama sehingga mereka memiliki dasar pemikiran yang sama mengenai etika profesi. Sedangkan untuk variabel lainnya mengalami perbedaan persepsi karena faktor perbedaan sudut pandang mengenai pelaksanaan kode etik dalam penerapannya di lapangan.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan,yaitu:
1.      Obyek penelitian ini adalah akuntan publik dan akuntan pendidik. Dalam hal ini keterbatasan terletak pada beberapa profesi akuntan lain yang belum dapat diperoleh persepsi mereka, sehingga akan memungkinkan penilaian persepsi yang berbeda pada kelompok akuntan lain tersebut.
2.      Penelitiaini hanya memfokuskan pada prinsip-prinsip etika dalam kode etik akuntan  saja, tidak memberikan gambaran mengenai aturan etika dan interpretasi aturan etika.
3.      Berbedanya usia responden dari akuntan publik dan akuntan pendidik serta berbedanya pendidikan terakhir yang dimiliki oleh  kedua akuntan  sehingga dapat membedakan pandangan  mereka karena terbatasoleh  banyaknya pengalaman serta pendidikan yang dikuasainya.
4.      Penelitian ini dalam penyebaran kuesioner pada waktu akhir tahun sehingga mengalami kesulitan untuk mencari akuntan  pendidiyang  juga  bekerja  atau  pernah  bekerja  sebagai  akuntan  publik  sehingga responden  akuntan pendidik murni hanya sebagai akuntan pendidik.