Selasa, 10 Juni 2014

PENDIDIKAN DI INDONESIA

PENDIDIKAN DI INDONESIA

1EB21

NAMA :
DWI PUSPITA AGUSTIN               (22213693)
FERISYA WULANDARI                (23213423)
KUSMILAWATI                               (24213903)
NURUL MAGHFIROH JUFRIN     (26213733)
SISKA RIA ANDRIANI                  (28213513)

  UNIVERSITAS GUNADARMA 2014


BAB I

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan mempunyai peran penting dalam Pembangunan Negara Indonesia yang memang masih dalam taraf Negara Berkembang, pendidikan yang dilakukan di Negara Indonesia belum terbilang berhasil atau bisa dikatakan memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai pengikut bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
           
Memasuki abad 21 gelombang globalisasi semakin dirasakan oleh masyarakat, perkembangan teknologi yang semakin maju dengan cepatnya pun harus diimbangi oleh masyarakat diseluruh dunia, termasuk Indonesia. Kemajuan IPTEK dan perubahan yang telah terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang luas dan modern, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara-negara yang lain.dan yang terjadi pada saat ini adalah Indonesia mengalami ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itu diperoleh setelah kita membandingkan pendidikan di negara kita dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penyokong dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia (SDM) diIndonesia yang tidak kalah berkompetisi atau bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, terlihat jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan
B.   RUMUSAN MASALAH

1.      Potret Pendidikan Indonesia Masa ke Masa.
2.      Perkembangan kurikulum Pendidikan Indonesia.
3.      Karakteristik Pendidikan Indonesia.
4.      Penyebab Rendahnya Pendidikan di Indonesia.
5.      Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia

C.   TUJUAN PENULISAN

1.      Membedakan Kurikulum-kurikulum dari tahun ke tahun.
2.      Mengetahui perkembangan pendidikan Indonesia dari dulu hingga sekarang.
3.      Mengetahui karakter pendidikan yang terdapat di Indonesia.
4.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
5.      Memberikan solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.




D.   MANFAAT PENULISAN

-          Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai Informasi dalam upaya memperbaiki dan mengembangkan Pendidikan di Indonesia serta sarana dan prasarana yang mendukung mutu pendidikan di Indonesia.
-          Bagi Dosen
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar, mendidik serta memberikan motivasi agar Mahasiswa/i menjadi lebih baik prestasinya baik dalam bidang akademiknya maupun sikap dan kepribadian untuk memajukan Negara Indonesia.
-          Bagi Mahasiswa/i
Bisa dijadikan bahan belajar dan motivasi diri untuk meningkatkan prestasi diri dan mengembangkan kualitas diri agar menciptakan pribadi yang berguna bagi kemajuan Bangsa dan Negara.






BAB II
PEMBAHASAN

1.     Sejarah Pendidikan di Indonesia.

Pada permulaan abag ke-16, hampir seabad sebelum kedatangan Bangsa Belanda ke Nusantara, pedagang dari Portugus menetap di wilayah Indonesia bagian timur. Saat itu Portugis menyelenggarakan pendidikan Agama Katolik dalam rangka menyukseskan misi penyebaran agama Katolik yang mereka emban dari pemerintah mereka. Namun pada tahun 1605, kekuasaan Portugis melemah akibat serngan dari raja-raja Indonesia.

Tonggak pendidikan selanjutnya dikembangkan oleh VOC yang juga dipusatkan di bagian timur Indonesia dan Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1607 VOC mendirikan sekolah pertama di Ambon yang ditujukan sebagai tempan bagi anak-anak Indonesia bersekolah sebab pada saat itu belum ada anak-anak dari Belanda. Tujuan utama pendirian sekolah oleh VOC adalah untuk meruntuhkan ajaran Katolik dan menanamkan ajaran Protestan bagi anak-anak yang bersekolah pada sekolah yang dibuatnya itu. Seperti jamur di musim hujan, jumlah sekolah bertambah dengan pesatnya. Pada tahun 1632 terdapat 16 sekolah di Ambon, kemudian pada tahun 1645 jumlah sekolah meningkat menjadi 33 buah dengan 1.300 orang murid. Karena Belanda sudah merasa berhasil menlenyapakan ajaran Katolik, maka mulai abad ke-18, bangsa Belanda tidak tertarik lagi untuk mengembangkan sekolah, sehingga perkembangan sekolah mulai menurun.

Pada tahun 1630 di Batavia (Jakarta) didirikan sekolah untuk anak-anak orang Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Pada 1636 jumlah sekalah di Batavia bertambah menjadi 3 buah dan pada tahun 1706 telah ada 34 orang guru dan 4873 murid. Sekolah-sekolah itu terbuka bagi semua anak tanpa perbedaan kebangsaan.
Selama penguasaan VOC , kurikulum pendidikan yang digunakan bertalian erat dengan gereja dan menurut instruksi Heeren XVII. Pada saat itu setiap Gubernur di Indonesia diwajibkan untuk mendirikan sekolah untuk tujuan penyebaran agama Kristen. Peraturan yang dibuat oleh VOC adalah setiap guru diharuskan untuk memupuk rasa takut kepada Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen, mengakarkan anak berdoa, bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian gereja, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, mematuhi penguasa, dan guru. Pada saat itu juga diajarkan tentang katekismus, agama, membaca, menulis, berhitung, dan menyanyi dan pada saat itu juga belum ditentukan lama seserang untuk bersekolah. Pada saat itu hanya ditentukan bahwa setiap anak yang berusia 16 tahun dan anak wanita yang berusia lebih dari 12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari sekolah. Kemudian usia itu diturunkan menjadi 12 tahun untuk anak laki-laki dan 10 tahun untuk anak-anak perempuan.
Pembagian dalam 3 kelas untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1778. Kelas 3 adalah kelas terendah dan di sana anak-anak diajari abjad, kelas 2 adalah tempat untuk belajar membaca, menulis, dan bernyanyi, sedangkan kelas 1 dalah kelas tertinggi diajari membaca, menulis, katekismus, bernyanyi dan berhitung. Perlu diketahui bahwa pada saat itu belum dikenal istilah pengajaran klasikal, artinya pengajaran dilakukan secara individual. Aryinya, seorang murid datang dan maju ke meja guru lalu ia diberikan bantuan belajar oleh gurunya.
Di sana-sini dipopulerkan untuk mengajarkan bahasa Belanda. Perkembangan pendidikan mulai merosot sejak pertengahan abad ke-18. Saat itu, Jakarta yang berpenduduk 16.000 jiwa hanya mumpunyai murid sebanyak 270 orang, Surabaya hanya 24 orang, dan di seluruh pulau Jawa hanya ada 350 orang murid. Pada tahun 1860 didirikan suatu sekolah menengah yang membuka kesempatan bagi anak-anak Belanda untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas di Negara Belanda atau untuk mendapatkan jabatan yang tinggi dalam dunia pemerintahan.
Pada tahun 1817 Kurikulum pendidikan mulai berubah, kurikulum tiu meliputi bahasa daerah, berhitung, geometri elementer, geografi, sejarah, ilmu alam, menggambar, pedagogic, menulis tangan, dan bernyanyi. Pada tahun 1882, pendidikan bagi anak-anak Indonesia mengalami peningkatan. Jumlah murid Indonesia mencapai 40.992 dan pada tahun 1911 Komite Pendidikan diubah menjadi Departemen Pendidikan dan Agama. Pada tahun 1892 terdapat 6 sekolah guru dengan murid 233 dan 33 orang guru, 516 buah sekolah rendah pemerintah untuk anak peribumi.
Tahun 1907 Van Heutz mendirikan sekolah baru yang disebut dengan Sekolah Desa yang akan menyebarkan cahaya di seluruh Nusantara dan setelah tahun 1918 sekolah itu terbukti dapat memberikan cahaya bagi Nusantara. Namun demikian, pendapat umum memandang bahwa pada tahun 1910 Indinesia belum matang untuk mendirikan Perguruan Tinggi. Sehingga pada tahun 1920 didirikanlah Techniche Hogeschool (sekarang ITB) di Bandung sebagai pendidikan tinggi pertama di Indonesia. Semenjak itu lengkaplah system pendidikan di Indonesia, dimana setiap anak dapat menempuh pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi melalui suatu rangkaian sekolah.
Techniche Hogeschool (sekarang ITB) pertama kali menamatkan pada tahun akademik 1923-1924 yakni 9 orang Belanda dan 3 orang Cina. Orang Indonesia pertama kali lulus pada tahun akademik 1925-1926 dengan jumlah 4 orang dan satu diantarnya adalah Ir. Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Indonesi sejak dikomandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya, sejak zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia di dasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tetang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan dalam Bab 1 pasal 1 ayat 1, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Sedangkan ayat 2 menyatakan, bahwa “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Sejak zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan yang pesat, sehingga pada zaman kepemimpinan Ir. Soekarno, pendidikan di Indonesia dikatakan sebagai system pendidikan yang cukup berhasil dalam membangun karakter dan kompetensi anak-anak bangsa. Melihat perkembangan system pendidikan Indonesia yang cukup bagus, tidak jarang bangsa asing yang mengirim pelajarnya untuk menuntut ilmu di Indonesia dn tidak jarang juga bangsa-bangsa lain yang meniru dan mengadopsi system pendidikan yang dikembangkan pada zaman itu.
Tahap berikutnya, pada zaman Orede Baru masalah pendidikan adalah permasalahan yang cukup diperhatikan oleh pemerintah pada saat itu sehingga pada awal-awal masa Orede Baru pendidikan di Indoensia juga mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja keadaan politik yang morat-marit dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia yang semakin merosot menyebabkan sitem pendidikan juga harus berubah mengikuti aspek-aspek tersebut. Ahirnya hingga saat ini system pendidikan di Negara yang kita cintai ini kerapkali mengalami tumpang tindih yang pada ahirnya rusaklah moral anak bangsa ini.
Perubahan kurikulum yang terus dipacu dengan tujuan untuk membangkitkan kegemilangan pendidikan Indonesia juga menjadi permasalahan yang pelik dan masih tetap menjadi pembicaraan dan perdebatan hangat hingga saat ini. Sejaka tahun 1994 hingga sekarang, setidaknya kurikulum pendidikan kita sudah mengalamai 5 kali perubahan, mulai dari kurikulum 2004 yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006 yang kemudian dikenal dengan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan tujuan utama untuk mencetak lulusan yang berkompetensi dalam berbagai bidang. Hanya saja kurikulum 2004 dan 2006 lebih mengutamakan kuantitas dari pada kualitas, sehingga ujung-ujungnya adalah manipulasi data yang kemudian menyebabkan hancurnya karakter anak bangsa.
Belum selesai kurikulum 2006 diperdebatkan muncul kurikulum 2008 dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan persiapan yang begitu matang dan landasan hukum yang begitu lama disusun oleh para pembuat kebijakan, maka diterapkanlah kurikulum KTSP itu dengan berbagai program pembenahan dan penyempurnaan. Kebingungan terus dirasakan oleh guru yang menjadi ujung tombak atau pelaksana kurikulum, mereka belum paham apa itu kurikulum 2004 dan 2006. Tetapi, mereka harus dihadapkan lagi dengan kurikulm 2008 yang aplikasinya dan materi ajarnya cukup berbeda dengan kurikulum 2004 dan 2006. Dan ketika mereka sedang dalam kebingungan yang begitu memusingkan, kurikulum 2011 yang bermuatan karakter dikeluarkan kembali oleh para pembuat kebijakan, ahirnya system pendidikan Indonesia semakin amburadul akibat terlalu banyaknya perdebatan di layak kaca dan media massa. Kurikulum berkarakter  belm dapat memapankan dan bahkan belum bisa merubah karakter anak bangsa yang sedang kerisis akan nilai-nilai pancasila dan moral bangsa Indonesia, dikeluarkan lagi kurikulum 2013 yang semakin membingungkan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Di sisi lain, moralitas anak bangsa Indonesia sudah hancur lebur sehingga yang menjadi sorotan adalah sekolah dan para penyelenggara pendidikan mulai dari Menteri Pendidikan hingga Guru. Masyarakat Indonesia menilai bahwa lembaga pendidikan telah gagal untuk mendidik anak-anak bangsa ini. Sungguh memperihatinkan sekali, hanya saja melalui HARDIKNAS tahun ini, mari kita tingkatkan semangat kita untuk terus dan terus memberikan hal yang terbaik bagi dunia pendidikan kita. Terutama bagi kita yang bergelut di dunia pendidikan (guru), diharapkan untuk senantiasa giat dan tidak terpengaruh atas berbagai perubahan yang terjadi di dalam system pendidikan nasional. Tetap semangat untuk mengembalikan kejayaan pendidikan Indonesia demi kemajuan dan matabat bangsa kita di muka dunia.
Memang saat itu, sudah terlalu banyak program pendidikan yang sangat bagus untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, hanya saja kita belum berani untuk berlaku jujur dan bijksana di dalam menghadapi aturan yang ada. Contohnya dalam penyelenggaraan Ujian Ahir Sekolah/Ujian Nasional, hanya demi gengsi dan aksi, banyak diantara kita yang membuat system baru untuk memberikan nilai yang baik bagi siswa-siswi kita padahal kenyataannya otak anak-anak kita belum cukup untuk mendapatkan nilai atau hasil itu. Namun apa boleh buat, itulah system yang harus berlaku dalam dunia pendidikan kita yang penuh dengan manipulasi.
Hal ini terbukti dengan banyaknya pengangguran yang ada di sekitar kita. Pengangguran-pengguran itu begitu banyak yang menyandang gelar Sarjana Strata Satu (S1). Lalu apa yang menyebabkan mereka harus menjadi pengangguran setelah orang tua mereka susah payah menyekolahkannya hingga mencapai gelar Sarjan jika bukan dengan tujuan supaya anak-anak mereka menjadi orang yang bisa dan mampu bekerja dan menciptakan lapangan kerja. Tetapi, kenyataannya sangatlah berbeda, ternyata setelah mereka selesai diwisuda, mereka harus bingung mencari kerja ke mana sebab saingan mereka terlalu banyak.
Bayangkan setiaptahunnya, Indonesia mencetak jutaan Sarjana tetapi lapangan kerja semakin menyempit. Tetapi jika kualitas pendidikan yang mereka dapatkan baik dan otak mereka benar-benar bagus, serta nilai ahir yang mereka dapatkan benar-benar kemampuan mereka sendiri maka kami yakin mereka akan dapat menciptakan lapangan sendiri dan bersaing dengan yang lainnya. Hanya saja, sebagian besar diantara mereka tamat dari sekolahnya sebab adanya manipulasi nilai dan trik-trik lain yang dilakukan supaya mereka mendapatkan nilai yang sesuai dengan standar kelulusan yang ditetapkan kurikulum.


2.     Sejarah Perkembangan Kurikulum diIndonesia

Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
-          Rencana Pelajaran 1947
Awal kurikulum terbentuk pada tahun 1947, yang diberi nama Rencana Pembelajaran 1947. Kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh Belanda karena pada saat itu masih dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan. Yang menjadi ciri utam kurikulum ini adalah lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain.Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Setelah rencana pembelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Dengan berganti nama menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952.Yang menjadi ciri dalam kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
-          Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional prak tis.Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum pendidikan di indonesia. Kali ini diberi nama dengan Rentjana Pendidikan 1964. Yang menjadi ciri dari kurikulum ini pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, kerigelan dan jasmani.
-           Kurikulum 1968
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
-           Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menekankan pada tujuan,Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
-           Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
-          Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
a.        Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
b.       Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
c.       Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
d.      Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
e.       Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
f.       Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
g.      Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.

Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Kurikulum yang terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan perkembangan dari kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada saat ini merupakan kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang guru disini menurut Okvina (2009) benar-benar digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntuk kereatifitasan seorang guru. Kurikulum yang kita pakai sekarang ini masih banyak kekurangan di samping kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain adalah (1) kurangnya sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP dengan kata lin masih rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP seorang guru dituntut untuk lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2) kurangnya sarana dan prasarana yang dimillki oleh sekolah.
-          KURIKULUM 2013
Dalam pemaparannya di Griya Agung Gubernuran Sumatera Selatan (kemdikbud.go.id) , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA menegaskan bahwa kurikukulum terbaru 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling mendasar ialah menuntut kemapuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk siswa lebih didorong untuk memeiliki tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berpikir kritias. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative member kesempatan siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA ndan IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Seperti yang dirilis kemdikbud dalam kemdikbud.go.id ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013.
1.      Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi pembelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46
2.      Kompetensi akademik di mana guru harus menguasai metode penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa.
3.      Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asocial kepada siswa dan teman sejawat lainnya.
4.      Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan digugu dan ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan kurikulum ini. Kesiapan guru ini akan berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong mampu ;ebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka peroleh setelah menerima materi pembelajaran

3.     Karakteristik Pendidikan Indonesia
Dalam buku Pengantar Pendidikan,  Redja Mudyahardjo (hal.191) membagi empat bagian Karakteristik Pendidikan Nasional Indonesia.
1.     Karakteristik sosial budaya
2.     Karakteristik dasar dan fungsi
3.     Karakteristik tujuan
4.     Karakteristik kesisteman (sistemik)
1.Karakteristik sosial budaya
                 Sistem Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayan bangsa Indonesia  yaitu kebudayan yang timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia yang berbentuk kebudayaan lama dan asli, kebudayaan baru yang dikembangkan menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan  dengan tidak menolak kebudayaan asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
                 Sistem Pendidikan  Nasonal Indonesia  berakar pada kebinekaan yang satu atau Bhineka TunggaL Ika. Sistem Pendidikan Indonesia  harus menyerap dan mengembangkan karakteristik geografi, demografis, sosial budaya, sosial politik, dan sosial ekonomi daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia dalam kerangka persatuan dan kesatuan Indonesia.
2. Karakteristik Dasar dan Fungsi
                 Dasar yuridis formal dari sistem pendidikan nasional Indonesia yang bersifat idiil adalah pancasila sebagai dasar negara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan yang bersifat regulasi/mengatur bersumber pada pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
                 Pasal 31 ayat 2 berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Ayat ini secara khusus berbicara tentang pendidikan dasar 9 tahun (tingkat SD dan SLTP), bahwa target yang dikehendaki adalah warga negara yang berpendidikan minimal setingkat SLTP. Ada dua kata "wajib" dalam ayat ini yang berimplikasi terhadap pelaksanaan lebih lanjut program wajib belajar. Di antaranya adalah setiap anak usia pendidikan dasar (6-15 tahun) wajib bersekolah di SD dan SLTP. Karena sifatnya wajib, bila tidak, semestinya ada sanksi hukum terhadap keluarganya dan juga bagi anaknya. Sanksi apa yang dikenakan kepada mereka, haruslah jelas. Tidak boleh lagi ada alasan bahwa seorang anak tidak bersekolah karena ia tidak ingin bersekolah atau keluarganya tidak mampu membiayainya karena pemerintah wajib membiayainya.
                 Dalam ayat 2 ini juga mewajibkan pemerintah untuk membiayai pendidikan khususnya pada pendidikan dasar. Yang menjadi pertanyaan biaya apa sajakah yang akan ditanggung oleh pemerintah? Apakah masih akan terbatas pada tiga jenis biaya (gaji, pengadaan alat dan pemeliharaannya, serta penyelenggaraan), atau akan meliputi juga uang sekolah yang selama dibayarkan melalui BP3, biaya ujian-ujian? Atau akan termasuk juga buku-buku pelajaran, alat-alat tulis, pakaian seragam terutama bagi siswa yang kurang mampu? Perlu dicatat bahwa kalau hanya iuran BP3 yang ditanggung, itu jumlahnya kecil sekali dan jelas tidak akan banyak membantu meringankan biaya siswa terutama dari kalangan tidak mampu.
3. Karakteristik Tujuan
                 Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehiduapn bangsa yang cerdas adalah kehidupan bangsa dalam segala sektor, politik, ekonomi, keamanan, kesehatan dan sebagainya. Yang makin menjadi kuat dan berkembang dalam memberikan keadilan dan kemakmuran bagi setiap warga negara dan negara sehingga mampu menghadapi gejolak apapun.
                 Tujuan yang kedua adalah  mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur. Memiliki pengetahuan dan keterampilan. Memiliki kesehatan jasmani dan rohani. Memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan  dan kebanggaan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
4. Karakteristik Kesisteman
                 Pendidikan Nasional merupakan satu keseluruhan kegiatan dan satuan pendidikan yang dirancang dilaksanakan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional. Pendidikan nasional mempunyai tugas utama agar tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran ( Pasal 31 UUD 1945). Untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya  lewat jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah yang menganut asas pendidikan seumur hidup.
                 Pendidikan Nasional mengatur bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas tiga jalur utama yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Kurikulum, peserta didik, dan tenaga kependidikan tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan belajar mengajar.
                 Pengaturan penyelenggaraan pendidikan secara terpusat dan  tidak terpusat.Transformasi administrasi dilaksanakan secara sentralisasi, sedangkan transformasi  edukatif di satuan pendidikan dilaksanakan secara desentralisasi. Penyelenggaraan satuan  dan kegiatan pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
                 Pendidikan nasional mengatur bahwa satuan dan kegitan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang tidak bertentangan  dengan pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup bangsa.
                 Pendidikan nasional memberikan kemudahan bagi pesrta didik untuk memperoleh pendidikan  yang sesuai dengan bakat, minat, dan tujuan  ynag hendak dicapai, serta memudahkan satuan-satuan dan kegiatan-kegiatan pendidikan untuk menyesuaikan  diri dengan perubahan lingkungan


4.     Faktor Penyebab Rendahnya Pendidikan di Indonesia.

1.      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Menurut detik news (2009), Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut : untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.      Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4.      Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5.      Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6.      Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7.      Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.


5.     Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia.

Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Mutu pendidikan nasional yang tercermin dalam kompetensi lulusan satuan-satuan pendidikan dipengaruhi oleh berbagai komponen seperti proses, isi, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaam, dan penilaian pendidikan yang dapat digambarkan dalam konstelasi mutu pendidikan sebagai berikut.
            Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan system penilaian yang valid, obyektif, dan tegas. Oleh karena itu perwujudan pendidikan nasional yang bermutu harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.

 UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SECARA NASIONAL
Banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
            Berbagai upaya yang telah dilakukan secara terencana sejak sepuluh tahun yang lalu. Hasilnya cukup membanggakan untuk sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia tetapi belum merata dan kurang memuaskan secara nasional.
Adapun proyek-proyek yang telah diluncurkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya ialah :
a.       Proyek Pembangunan Kurikulum
b.      Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
c.       Proyek Perpustakaan
d.      Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM)
e.       Proyek Bantuan Imbal Swadaya (BIS)
f.        Pengadaan Buku Paket
g.      Proyek Peningkatan Mutu Guru
h.      Dana Bantuan Langsung (DBL)
i.        Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
j.        Bantuan Khusus Murid (BKM)

Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Kini berbagai elemen masyarakat mempertanyakan mengapa upaya yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang berpendapat mungkin manajemennya yang kurang tepat dan adapula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan.

Upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional diantaranya yaitu :
1.      Memberikan Penghargaan Terhadap Guru
Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan intrinsic (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir).
2.      Meningkatkan Profesionalisme
Kecanggihan kurikulum dan panduan manajemen sekolah tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru peofesional. UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
3.      Menyediakan Sarana dan Prasarana
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata atau minimal siswa mendapat gambaran miniature tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPm), sekolah harus memiliki persyaratan meinimal untuk menyelanggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau tertinggal di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
4.      Berantas Korupsi
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dari kekaburan system anggaran sekolah. Kekaburan dalam system anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerpkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
            Dalam membangun pendidikan itu tidak mudah. Tidak cukup hanya dengan menyediakan anggaran, tetapi juga harus ada langkah dan program konkret atas dasar kebutuhan sekolah dan siswa.
            Kemudian, masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan ini. Bukan hanya menyediakan anggaran kepada sekolah dan menyelenggarakan sesuai rancangan, tanpa ada keterlibatan masyarakat mustahil penyelenggaraannya bisa berjalan baik.
            Saat ini, pemerintah fokus untuk menerapkan program pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga ke pelosok desa. Karena, PAUD adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut yang diselenggarakan pada jalur normal, nonformal, dan informal.
            Peran serta masyarakat dalam mendorong terwujudnya upaya-upaya meningkatkan mutu pendidikan terutama program PAUD sangat besar. Kemudian, pentingnya pelaksanaan program PAUD di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan dengan berintegrasi bersama program lainnya seperti posyandu, BKB dan program lainnya, sehingga kualitas SDM terutama pada anak usia dini dapat terus meningkat.


BAB III

PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Jika dibandingkan dengan Negara-Negara lain, Pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Penyebabnya adalah efesiensi, efektifitas dan Standarisasi pendidikan Indonesia yang terus-menerus berubah tanpa adanya perkembangan yang nyata. Masalah-masalah lainnya yang menjadi penyebabnya yaitu rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.

Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas profesionalisme guru serta prestasi siswa.

B.     SARAN.
Di era Globalisasi saat ini memang banyak menutut perubahan, khususnya dibidang pendidikan dan juga teknologi. Agar Negara kita tidak semakin tertinggal jauh dengan Negara lainnya, dibutuhkan peningkatan kualitas mutu Pendidikan terlebih dahulu.

Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional

C.     DAFTAR PUSTAKA
Mudyahardjo, Redja. 2010. Pengantar Pendidkan. Suatu Studi Awal Tentang  Dasar Dasar
-----------Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rajawalki Pers.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 10 Juni 2014

PENDIDIKAN DI INDONESIA

PENDIDIKAN DI INDONESIA

1EB21

NAMA :
DWI PUSPITA AGUSTIN               (22213693)
FERISYA WULANDARI                (23213423)
KUSMILAWATI                               (24213903)
NURUL MAGHFIROH JUFRIN     (26213733)
SISKA RIA ANDRIANI                  (28213513)

  UNIVERSITAS GUNADARMA 2014


BAB I

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan mempunyai peran penting dalam Pembangunan Negara Indonesia yang memang masih dalam taraf Negara Berkembang, pendidikan yang dilakukan di Negara Indonesia belum terbilang berhasil atau bisa dikatakan memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai pengikut bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
           
Memasuki abad 21 gelombang globalisasi semakin dirasakan oleh masyarakat, perkembangan teknologi yang semakin maju dengan cepatnya pun harus diimbangi oleh masyarakat diseluruh dunia, termasuk Indonesia. Kemajuan IPTEK dan perubahan yang telah terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang luas dan modern, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara-negara yang lain.dan yang terjadi pada saat ini adalah Indonesia mengalami ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itu diperoleh setelah kita membandingkan pendidikan di negara kita dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penyokong dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia (SDM) diIndonesia yang tidak kalah berkompetisi atau bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, terlihat jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan
B.   RUMUSAN MASALAH

1.      Potret Pendidikan Indonesia Masa ke Masa.
2.      Perkembangan kurikulum Pendidikan Indonesia.
3.      Karakteristik Pendidikan Indonesia.
4.      Penyebab Rendahnya Pendidikan di Indonesia.
5.      Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia

C.   TUJUAN PENULISAN

1.      Membedakan Kurikulum-kurikulum dari tahun ke tahun.
2.      Mengetahui perkembangan pendidikan Indonesia dari dulu hingga sekarang.
3.      Mengetahui karakter pendidikan yang terdapat di Indonesia.
4.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
5.      Memberikan solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.




D.   MANFAAT PENULISAN

-          Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai Informasi dalam upaya memperbaiki dan mengembangkan Pendidikan di Indonesia serta sarana dan prasarana yang mendukung mutu pendidikan di Indonesia.
-          Bagi Dosen
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar, mendidik serta memberikan motivasi agar Mahasiswa/i menjadi lebih baik prestasinya baik dalam bidang akademiknya maupun sikap dan kepribadian untuk memajukan Negara Indonesia.
-          Bagi Mahasiswa/i
Bisa dijadikan bahan belajar dan motivasi diri untuk meningkatkan prestasi diri dan mengembangkan kualitas diri agar menciptakan pribadi yang berguna bagi kemajuan Bangsa dan Negara.






BAB II
PEMBAHASAN

1.     Sejarah Pendidikan di Indonesia.

Pada permulaan abag ke-16, hampir seabad sebelum kedatangan Bangsa Belanda ke Nusantara, pedagang dari Portugus menetap di wilayah Indonesia bagian timur. Saat itu Portugis menyelenggarakan pendidikan Agama Katolik dalam rangka menyukseskan misi penyebaran agama Katolik yang mereka emban dari pemerintah mereka. Namun pada tahun 1605, kekuasaan Portugis melemah akibat serngan dari raja-raja Indonesia.

Tonggak pendidikan selanjutnya dikembangkan oleh VOC yang juga dipusatkan di bagian timur Indonesia dan Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1607 VOC mendirikan sekolah pertama di Ambon yang ditujukan sebagai tempan bagi anak-anak Indonesia bersekolah sebab pada saat itu belum ada anak-anak dari Belanda. Tujuan utama pendirian sekolah oleh VOC adalah untuk meruntuhkan ajaran Katolik dan menanamkan ajaran Protestan bagi anak-anak yang bersekolah pada sekolah yang dibuatnya itu. Seperti jamur di musim hujan, jumlah sekolah bertambah dengan pesatnya. Pada tahun 1632 terdapat 16 sekolah di Ambon, kemudian pada tahun 1645 jumlah sekolah meningkat menjadi 33 buah dengan 1.300 orang murid. Karena Belanda sudah merasa berhasil menlenyapakan ajaran Katolik, maka mulai abad ke-18, bangsa Belanda tidak tertarik lagi untuk mengembangkan sekolah, sehingga perkembangan sekolah mulai menurun.

Pada tahun 1630 di Batavia (Jakarta) didirikan sekolah untuk anak-anak orang Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Pada 1636 jumlah sekalah di Batavia bertambah menjadi 3 buah dan pada tahun 1706 telah ada 34 orang guru dan 4873 murid. Sekolah-sekolah itu terbuka bagi semua anak tanpa perbedaan kebangsaan.
Selama penguasaan VOC , kurikulum pendidikan yang digunakan bertalian erat dengan gereja dan menurut instruksi Heeren XVII. Pada saat itu setiap Gubernur di Indonesia diwajibkan untuk mendirikan sekolah untuk tujuan penyebaran agama Kristen. Peraturan yang dibuat oleh VOC adalah setiap guru diharuskan untuk memupuk rasa takut kepada Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen, mengakarkan anak berdoa, bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian gereja, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, mematuhi penguasa, dan guru. Pada saat itu juga diajarkan tentang katekismus, agama, membaca, menulis, berhitung, dan menyanyi dan pada saat itu juga belum ditentukan lama seserang untuk bersekolah. Pada saat itu hanya ditentukan bahwa setiap anak yang berusia 16 tahun dan anak wanita yang berusia lebih dari 12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari sekolah. Kemudian usia itu diturunkan menjadi 12 tahun untuk anak laki-laki dan 10 tahun untuk anak-anak perempuan.
Pembagian dalam 3 kelas untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1778. Kelas 3 adalah kelas terendah dan di sana anak-anak diajari abjad, kelas 2 adalah tempat untuk belajar membaca, menulis, dan bernyanyi, sedangkan kelas 1 dalah kelas tertinggi diajari membaca, menulis, katekismus, bernyanyi dan berhitung. Perlu diketahui bahwa pada saat itu belum dikenal istilah pengajaran klasikal, artinya pengajaran dilakukan secara individual. Aryinya, seorang murid datang dan maju ke meja guru lalu ia diberikan bantuan belajar oleh gurunya.
Di sana-sini dipopulerkan untuk mengajarkan bahasa Belanda. Perkembangan pendidikan mulai merosot sejak pertengahan abad ke-18. Saat itu, Jakarta yang berpenduduk 16.000 jiwa hanya mumpunyai murid sebanyak 270 orang, Surabaya hanya 24 orang, dan di seluruh pulau Jawa hanya ada 350 orang murid. Pada tahun 1860 didirikan suatu sekolah menengah yang membuka kesempatan bagi anak-anak Belanda untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas di Negara Belanda atau untuk mendapatkan jabatan yang tinggi dalam dunia pemerintahan.
Pada tahun 1817 Kurikulum pendidikan mulai berubah, kurikulum tiu meliputi bahasa daerah, berhitung, geometri elementer, geografi, sejarah, ilmu alam, menggambar, pedagogic, menulis tangan, dan bernyanyi. Pada tahun 1882, pendidikan bagi anak-anak Indonesia mengalami peningkatan. Jumlah murid Indonesia mencapai 40.992 dan pada tahun 1911 Komite Pendidikan diubah menjadi Departemen Pendidikan dan Agama. Pada tahun 1892 terdapat 6 sekolah guru dengan murid 233 dan 33 orang guru, 516 buah sekolah rendah pemerintah untuk anak peribumi.
Tahun 1907 Van Heutz mendirikan sekolah baru yang disebut dengan Sekolah Desa yang akan menyebarkan cahaya di seluruh Nusantara dan setelah tahun 1918 sekolah itu terbukti dapat memberikan cahaya bagi Nusantara. Namun demikian, pendapat umum memandang bahwa pada tahun 1910 Indinesia belum matang untuk mendirikan Perguruan Tinggi. Sehingga pada tahun 1920 didirikanlah Techniche Hogeschool (sekarang ITB) di Bandung sebagai pendidikan tinggi pertama di Indonesia. Semenjak itu lengkaplah system pendidikan di Indonesia, dimana setiap anak dapat menempuh pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi melalui suatu rangkaian sekolah.
Techniche Hogeschool (sekarang ITB) pertama kali menamatkan pada tahun akademik 1923-1924 yakni 9 orang Belanda dan 3 orang Cina. Orang Indonesia pertama kali lulus pada tahun akademik 1925-1926 dengan jumlah 4 orang dan satu diantarnya adalah Ir. Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Indonesi sejak dikomandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya, sejak zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia di dasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tetang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan dalam Bab 1 pasal 1 ayat 1, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Sedangkan ayat 2 menyatakan, bahwa “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Sejak zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan yang pesat, sehingga pada zaman kepemimpinan Ir. Soekarno, pendidikan di Indonesia dikatakan sebagai system pendidikan yang cukup berhasil dalam membangun karakter dan kompetensi anak-anak bangsa. Melihat perkembangan system pendidikan Indonesia yang cukup bagus, tidak jarang bangsa asing yang mengirim pelajarnya untuk menuntut ilmu di Indonesia dn tidak jarang juga bangsa-bangsa lain yang meniru dan mengadopsi system pendidikan yang dikembangkan pada zaman itu.
Tahap berikutnya, pada zaman Orede Baru masalah pendidikan adalah permasalahan yang cukup diperhatikan oleh pemerintah pada saat itu sehingga pada awal-awal masa Orede Baru pendidikan di Indoensia juga mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja keadaan politik yang morat-marit dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia yang semakin merosot menyebabkan sitem pendidikan juga harus berubah mengikuti aspek-aspek tersebut. Ahirnya hingga saat ini system pendidikan di Negara yang kita cintai ini kerapkali mengalami tumpang tindih yang pada ahirnya rusaklah moral anak bangsa ini.
Perubahan kurikulum yang terus dipacu dengan tujuan untuk membangkitkan kegemilangan pendidikan Indonesia juga menjadi permasalahan yang pelik dan masih tetap menjadi pembicaraan dan perdebatan hangat hingga saat ini. Sejaka tahun 1994 hingga sekarang, setidaknya kurikulum pendidikan kita sudah mengalamai 5 kali perubahan, mulai dari kurikulum 2004 yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006 yang kemudian dikenal dengan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan tujuan utama untuk mencetak lulusan yang berkompetensi dalam berbagai bidang. Hanya saja kurikulum 2004 dan 2006 lebih mengutamakan kuantitas dari pada kualitas, sehingga ujung-ujungnya adalah manipulasi data yang kemudian menyebabkan hancurnya karakter anak bangsa.
Belum selesai kurikulum 2006 diperdebatkan muncul kurikulum 2008 dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan persiapan yang begitu matang dan landasan hukum yang begitu lama disusun oleh para pembuat kebijakan, maka diterapkanlah kurikulum KTSP itu dengan berbagai program pembenahan dan penyempurnaan. Kebingungan terus dirasakan oleh guru yang menjadi ujung tombak atau pelaksana kurikulum, mereka belum paham apa itu kurikulum 2004 dan 2006. Tetapi, mereka harus dihadapkan lagi dengan kurikulm 2008 yang aplikasinya dan materi ajarnya cukup berbeda dengan kurikulum 2004 dan 2006. Dan ketika mereka sedang dalam kebingungan yang begitu memusingkan, kurikulum 2011 yang bermuatan karakter dikeluarkan kembali oleh para pembuat kebijakan, ahirnya system pendidikan Indonesia semakin amburadul akibat terlalu banyaknya perdebatan di layak kaca dan media massa. Kurikulum berkarakter  belm dapat memapankan dan bahkan belum bisa merubah karakter anak bangsa yang sedang kerisis akan nilai-nilai pancasila dan moral bangsa Indonesia, dikeluarkan lagi kurikulum 2013 yang semakin membingungkan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Di sisi lain, moralitas anak bangsa Indonesia sudah hancur lebur sehingga yang menjadi sorotan adalah sekolah dan para penyelenggara pendidikan mulai dari Menteri Pendidikan hingga Guru. Masyarakat Indonesia menilai bahwa lembaga pendidikan telah gagal untuk mendidik anak-anak bangsa ini. Sungguh memperihatinkan sekali, hanya saja melalui HARDIKNAS tahun ini, mari kita tingkatkan semangat kita untuk terus dan terus memberikan hal yang terbaik bagi dunia pendidikan kita. Terutama bagi kita yang bergelut di dunia pendidikan (guru), diharapkan untuk senantiasa giat dan tidak terpengaruh atas berbagai perubahan yang terjadi di dalam system pendidikan nasional. Tetap semangat untuk mengembalikan kejayaan pendidikan Indonesia demi kemajuan dan matabat bangsa kita di muka dunia.
Memang saat itu, sudah terlalu banyak program pendidikan yang sangat bagus untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, hanya saja kita belum berani untuk berlaku jujur dan bijksana di dalam menghadapi aturan yang ada. Contohnya dalam penyelenggaraan Ujian Ahir Sekolah/Ujian Nasional, hanya demi gengsi dan aksi, banyak diantara kita yang membuat system baru untuk memberikan nilai yang baik bagi siswa-siswi kita padahal kenyataannya otak anak-anak kita belum cukup untuk mendapatkan nilai atau hasil itu. Namun apa boleh buat, itulah system yang harus berlaku dalam dunia pendidikan kita yang penuh dengan manipulasi.
Hal ini terbukti dengan banyaknya pengangguran yang ada di sekitar kita. Pengangguran-pengguran itu begitu banyak yang menyandang gelar Sarjana Strata Satu (S1). Lalu apa yang menyebabkan mereka harus menjadi pengangguran setelah orang tua mereka susah payah menyekolahkannya hingga mencapai gelar Sarjan jika bukan dengan tujuan supaya anak-anak mereka menjadi orang yang bisa dan mampu bekerja dan menciptakan lapangan kerja. Tetapi, kenyataannya sangatlah berbeda, ternyata setelah mereka selesai diwisuda, mereka harus bingung mencari kerja ke mana sebab saingan mereka terlalu banyak.
Bayangkan setiaptahunnya, Indonesia mencetak jutaan Sarjana tetapi lapangan kerja semakin menyempit. Tetapi jika kualitas pendidikan yang mereka dapatkan baik dan otak mereka benar-benar bagus, serta nilai ahir yang mereka dapatkan benar-benar kemampuan mereka sendiri maka kami yakin mereka akan dapat menciptakan lapangan sendiri dan bersaing dengan yang lainnya. Hanya saja, sebagian besar diantara mereka tamat dari sekolahnya sebab adanya manipulasi nilai dan trik-trik lain yang dilakukan supaya mereka mendapatkan nilai yang sesuai dengan standar kelulusan yang ditetapkan kurikulum.


2.     Sejarah Perkembangan Kurikulum diIndonesia

Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
-          Rencana Pelajaran 1947
Awal kurikulum terbentuk pada tahun 1947, yang diberi nama Rencana Pembelajaran 1947. Kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh Belanda karena pada saat itu masih dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan. Yang menjadi ciri utam kurikulum ini adalah lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain.Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Setelah rencana pembelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Dengan berganti nama menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952.Yang menjadi ciri dalam kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
-          Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional prak tis.Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum pendidikan di indonesia. Kali ini diberi nama dengan Rentjana Pendidikan 1964. Yang menjadi ciri dari kurikulum ini pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, kerigelan dan jasmani.
-           Kurikulum 1968
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
-           Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menekankan pada tujuan,Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
-           Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
-          Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
a.        Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
b.       Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
c.       Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
d.      Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
e.       Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
f.       Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
g.      Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.

Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Kurikulum yang terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan perkembangan dari kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada saat ini merupakan kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang guru disini menurut Okvina (2009) benar-benar digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntuk kereatifitasan seorang guru. Kurikulum yang kita pakai sekarang ini masih banyak kekurangan di samping kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain adalah (1) kurangnya sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP dengan kata lin masih rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP seorang guru dituntut untuk lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2) kurangnya sarana dan prasarana yang dimillki oleh sekolah.
-          KURIKULUM 2013
Dalam pemaparannya di Griya Agung Gubernuran Sumatera Selatan (kemdikbud.go.id) , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA menegaskan bahwa kurikukulum terbaru 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling mendasar ialah menuntut kemapuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk siswa lebih didorong untuk memeiliki tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berpikir kritias. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative member kesempatan siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA ndan IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Seperti yang dirilis kemdikbud dalam kemdikbud.go.id ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013.
1.      Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi pembelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46
2.      Kompetensi akademik di mana guru harus menguasai metode penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa.
3.      Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asocial kepada siswa dan teman sejawat lainnya.
4.      Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan digugu dan ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan kurikulum ini. Kesiapan guru ini akan berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong mampu ;ebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka peroleh setelah menerima materi pembelajaran

3.     Karakteristik Pendidikan Indonesia
Dalam buku Pengantar Pendidikan,  Redja Mudyahardjo (hal.191) membagi empat bagian Karakteristik Pendidikan Nasional Indonesia.
1.     Karakteristik sosial budaya
2.     Karakteristik dasar dan fungsi
3.     Karakteristik tujuan
4.     Karakteristik kesisteman (sistemik)
1.Karakteristik sosial budaya
                 Sistem Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayan bangsa Indonesia  yaitu kebudayan yang timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia yang berbentuk kebudayaan lama dan asli, kebudayaan baru yang dikembangkan menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan  dengan tidak menolak kebudayaan asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
                 Sistem Pendidikan  Nasonal Indonesia  berakar pada kebinekaan yang satu atau Bhineka TunggaL Ika. Sistem Pendidikan Indonesia  harus menyerap dan mengembangkan karakteristik geografi, demografis, sosial budaya, sosial politik, dan sosial ekonomi daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia dalam kerangka persatuan dan kesatuan Indonesia.
2. Karakteristik Dasar dan Fungsi
                 Dasar yuridis formal dari sistem pendidikan nasional Indonesia yang bersifat idiil adalah pancasila sebagai dasar negara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan yang bersifat regulasi/mengatur bersumber pada pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
                 Pasal 31 ayat 2 berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Ayat ini secara khusus berbicara tentang pendidikan dasar 9 tahun (tingkat SD dan SLTP), bahwa target yang dikehendaki adalah warga negara yang berpendidikan minimal setingkat SLTP. Ada dua kata "wajib" dalam ayat ini yang berimplikasi terhadap pelaksanaan lebih lanjut program wajib belajar. Di antaranya adalah setiap anak usia pendidikan dasar (6-15 tahun) wajib bersekolah di SD dan SLTP. Karena sifatnya wajib, bila tidak, semestinya ada sanksi hukum terhadap keluarganya dan juga bagi anaknya. Sanksi apa yang dikenakan kepada mereka, haruslah jelas. Tidak boleh lagi ada alasan bahwa seorang anak tidak bersekolah karena ia tidak ingin bersekolah atau keluarganya tidak mampu membiayainya karena pemerintah wajib membiayainya.
                 Dalam ayat 2 ini juga mewajibkan pemerintah untuk membiayai pendidikan khususnya pada pendidikan dasar. Yang menjadi pertanyaan biaya apa sajakah yang akan ditanggung oleh pemerintah? Apakah masih akan terbatas pada tiga jenis biaya (gaji, pengadaan alat dan pemeliharaannya, serta penyelenggaraan), atau akan meliputi juga uang sekolah yang selama dibayarkan melalui BP3, biaya ujian-ujian? Atau akan termasuk juga buku-buku pelajaran, alat-alat tulis, pakaian seragam terutama bagi siswa yang kurang mampu? Perlu dicatat bahwa kalau hanya iuran BP3 yang ditanggung, itu jumlahnya kecil sekali dan jelas tidak akan banyak membantu meringankan biaya siswa terutama dari kalangan tidak mampu.
3. Karakteristik Tujuan
                 Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehiduapn bangsa yang cerdas adalah kehidupan bangsa dalam segala sektor, politik, ekonomi, keamanan, kesehatan dan sebagainya. Yang makin menjadi kuat dan berkembang dalam memberikan keadilan dan kemakmuran bagi setiap warga negara dan negara sehingga mampu menghadapi gejolak apapun.
                 Tujuan yang kedua adalah  mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur. Memiliki pengetahuan dan keterampilan. Memiliki kesehatan jasmani dan rohani. Memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan  dan kebanggaan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
4. Karakteristik Kesisteman
                 Pendidikan Nasional merupakan satu keseluruhan kegiatan dan satuan pendidikan yang dirancang dilaksanakan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional. Pendidikan nasional mempunyai tugas utama agar tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran ( Pasal 31 UUD 1945). Untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya  lewat jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah yang menganut asas pendidikan seumur hidup.
                 Pendidikan Nasional mengatur bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas tiga jalur utama yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Kurikulum, peserta didik, dan tenaga kependidikan tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan belajar mengajar.
                 Pengaturan penyelenggaraan pendidikan secara terpusat dan  tidak terpusat.Transformasi administrasi dilaksanakan secara sentralisasi, sedangkan transformasi  edukatif di satuan pendidikan dilaksanakan secara desentralisasi. Penyelenggaraan satuan  dan kegiatan pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
                 Pendidikan nasional mengatur bahwa satuan dan kegitan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang tidak bertentangan  dengan pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup bangsa.
                 Pendidikan nasional memberikan kemudahan bagi pesrta didik untuk memperoleh pendidikan  yang sesuai dengan bakat, minat, dan tujuan  ynag hendak dicapai, serta memudahkan satuan-satuan dan kegiatan-kegiatan pendidikan untuk menyesuaikan  diri dengan perubahan lingkungan


4.     Faktor Penyebab Rendahnya Pendidikan di Indonesia.

1.      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Menurut detik news (2009), Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut : untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.      Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4.      Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5.      Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6.      Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7.      Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.


5.     Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia.

Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Mutu pendidikan nasional yang tercermin dalam kompetensi lulusan satuan-satuan pendidikan dipengaruhi oleh berbagai komponen seperti proses, isi, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaam, dan penilaian pendidikan yang dapat digambarkan dalam konstelasi mutu pendidikan sebagai berikut.
            Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan system penilaian yang valid, obyektif, dan tegas. Oleh karena itu perwujudan pendidikan nasional yang bermutu harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.

 UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SECARA NASIONAL
Banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
            Berbagai upaya yang telah dilakukan secara terencana sejak sepuluh tahun yang lalu. Hasilnya cukup membanggakan untuk sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia tetapi belum merata dan kurang memuaskan secara nasional.
Adapun proyek-proyek yang telah diluncurkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya ialah :
a.       Proyek Pembangunan Kurikulum
b.      Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
c.       Proyek Perpustakaan
d.      Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM)
e.       Proyek Bantuan Imbal Swadaya (BIS)
f.        Pengadaan Buku Paket
g.      Proyek Peningkatan Mutu Guru
h.      Dana Bantuan Langsung (DBL)
i.        Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
j.        Bantuan Khusus Murid (BKM)

Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Kini berbagai elemen masyarakat mempertanyakan mengapa upaya yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang berpendapat mungkin manajemennya yang kurang tepat dan adapula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan.

Upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional diantaranya yaitu :
1.      Memberikan Penghargaan Terhadap Guru
Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan intrinsic (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir).
2.      Meningkatkan Profesionalisme
Kecanggihan kurikulum dan panduan manajemen sekolah tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru peofesional. UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
3.      Menyediakan Sarana dan Prasarana
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata atau minimal siswa mendapat gambaran miniature tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPm), sekolah harus memiliki persyaratan meinimal untuk menyelanggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau tertinggal di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
4.      Berantas Korupsi
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dari kekaburan system anggaran sekolah. Kekaburan dalam system anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerpkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
            Dalam membangun pendidikan itu tidak mudah. Tidak cukup hanya dengan menyediakan anggaran, tetapi juga harus ada langkah dan program konkret atas dasar kebutuhan sekolah dan siswa.
            Kemudian, masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan ini. Bukan hanya menyediakan anggaran kepada sekolah dan menyelenggarakan sesuai rancangan, tanpa ada keterlibatan masyarakat mustahil penyelenggaraannya bisa berjalan baik.
            Saat ini, pemerintah fokus untuk menerapkan program pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga ke pelosok desa. Karena, PAUD adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut yang diselenggarakan pada jalur normal, nonformal, dan informal.
            Peran serta masyarakat dalam mendorong terwujudnya upaya-upaya meningkatkan mutu pendidikan terutama program PAUD sangat besar. Kemudian, pentingnya pelaksanaan program PAUD di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan dengan berintegrasi bersama program lainnya seperti posyandu, BKB dan program lainnya, sehingga kualitas SDM terutama pada anak usia dini dapat terus meningkat.


BAB III

PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Jika dibandingkan dengan Negara-Negara lain, Pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Penyebabnya adalah efesiensi, efektifitas dan Standarisasi pendidikan Indonesia yang terus-menerus berubah tanpa adanya perkembangan yang nyata. Masalah-masalah lainnya yang menjadi penyebabnya yaitu rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.

Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas profesionalisme guru serta prestasi siswa.

B.     SARAN.
Di era Globalisasi saat ini memang banyak menutut perubahan, khususnya dibidang pendidikan dan juga teknologi. Agar Negara kita tidak semakin tertinggal jauh dengan Negara lainnya, dibutuhkan peningkatan kualitas mutu Pendidikan terlebih dahulu.

Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional

C.     DAFTAR PUSTAKA
Mudyahardjo, Redja. 2010. Pengantar Pendidkan. Suatu Studi Awal Tentang  Dasar Dasar
-----------Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rajawalki Pers.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar