PENDIDIKAN
DI INDONESIA
1EB21
NAMA :
DWI
PUSPITA AGUSTIN (22213693)
FERISYA
WULANDARI (23213423)
KUSMILAWATI (24213903)
NURUL
MAGHFIROH JUFRIN (26213733)
SISKA
RIA ANDRIANI (28213513)
UNIVERSITAS GUNADARMA 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Pendidikan mempunyai peran penting dalam Pembangunan
Negara Indonesia yang memang masih dalam taraf Negara Berkembang, pendidikan
yang dilakukan di Negara Indonesia belum terbilang berhasil atau bisa dikatakan
memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dari data
UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development
Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut
survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia
berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia
(2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari
lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai pengikut bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad 21 gelombang globalisasi semakin
dirasakan oleh masyarakat, perkembangan teknologi yang semakin maju dengan
cepatnya pun harus diimbangi oleh masyarakat diseluruh dunia, termasuk
Indonesia. Kemajuan IPTEK dan
perubahan yang telah terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak
lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang luas dan
modern, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan
negara-negara yang lain.dan yang terjadi pada saat ini adalah Indonesia mengalami ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itu diperoleh
setelah kita membandingkan pendidikan di negara kita dengan negara lain.
Pendidikan memang telah menjadi penyokong dalam meningkatkan sumber daya
manusia (SDM) di Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita
seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia (SDM) diIndonesia yang tidak
kalah berkompetisi atau bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara
lain.
Setelah kita amati, terlihat jelas bahwa masalah yang
serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas
pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun
informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan yang
menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan
untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan
standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di
Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu
rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru,
rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Potret
Pendidikan Indonesia Masa ke Masa.
2. Perkembangan
kurikulum Pendidikan Indonesia.
3. Karakteristik
Pendidikan Indonesia.
4. Penyebab
Rendahnya Pendidikan di Indonesia.
5. Upaya
Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia
C.
TUJUAN PENULISAN
1. Membedakan
Kurikulum-kurikulum dari tahun ke tahun.
2. Mengetahui
perkembangan pendidikan Indonesia dari dulu hingga sekarang.
3. Mengetahui
karakter pendidikan yang terdapat di Indonesia.
4. Mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
5. Memberikan
solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
D.
MANFAAT PENULISAN
-
Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai Informasi dalam
upaya memperbaiki dan mengembangkan Pendidikan di Indonesia serta sarana dan
prasarana yang mendukung mutu pendidikan di Indonesia.
-
Bagi Dosen
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam
mengajar, mendidik serta memberikan motivasi agar Mahasiswa/i menjadi lebih
baik prestasinya baik dalam bidang akademiknya maupun sikap dan kepribadian
untuk memajukan Negara Indonesia.
-
Bagi Mahasiswa/i
Bisa dijadikan bahan belajar dan
motivasi diri untuk meningkatkan prestasi diri dan mengembangkan kualitas diri
agar menciptakan pribadi yang berguna bagi kemajuan Bangsa dan Negara.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Sejarah
Pendidikan di Indonesia.
Pada
permulaan abag ke-16, hampir seabad sebelum kedatangan Bangsa Belanda ke
Nusantara, pedagang dari Portugus menetap di wilayah Indonesia bagian timur.
Saat itu Portugis menyelenggarakan pendidikan Agama Katolik dalam rangka
menyukseskan misi penyebaran agama Katolik yang mereka emban dari pemerintah
mereka. Namun pada tahun 1605, kekuasaan Portugis melemah akibat serngan dari
raja-raja Indonesia.
Tonggak pendidikan selanjutnya dikembangkan oleh VOC yang juga dipusatkan di bagian timur Indonesia dan Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1607 VOC mendirikan sekolah pertama di Ambon yang ditujukan sebagai tempan bagi anak-anak Indonesia bersekolah sebab pada saat itu belum ada anak-anak dari Belanda. Tujuan utama pendirian sekolah oleh VOC adalah untuk meruntuhkan ajaran Katolik dan menanamkan ajaran Protestan bagi anak-anak yang bersekolah pada sekolah yang dibuatnya itu. Seperti jamur di musim hujan, jumlah sekolah bertambah dengan pesatnya. Pada tahun 1632 terdapat 16 sekolah di Ambon, kemudian pada tahun 1645 jumlah sekolah meningkat menjadi 33 buah dengan 1.300 orang murid. Karena Belanda sudah merasa berhasil menlenyapakan ajaran Katolik, maka mulai abad ke-18, bangsa Belanda tidak tertarik lagi untuk mengembangkan sekolah, sehingga perkembangan sekolah mulai menurun.
Pada tahun 1630 di Batavia (Jakarta) didirikan sekolah untuk anak-anak orang Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Pada 1636 jumlah sekalah di Batavia bertambah menjadi 3 buah dan pada tahun 1706 telah ada 34 orang guru dan 4873 murid. Sekolah-sekolah itu terbuka bagi semua anak tanpa perbedaan kebangsaan.
Selama
penguasaan VOC , kurikulum pendidikan yang digunakan bertalian erat dengan
gereja dan menurut instruksi Heeren XVII. Pada saat itu setiap Gubernur di
Indonesia diwajibkan untuk mendirikan sekolah untuk tujuan penyebaran agama
Kristen. Peraturan yang dibuat oleh VOC adalah setiap guru diharuskan untuk
memupuk rasa takut kepada Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen,
mengakarkan anak berdoa, bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian gereja, pergi ke
gereja, mematuhi orang tua, mematuhi penguasa, dan guru. Pada saat itu juga
diajarkan tentang katekismus, agama, membaca, menulis, berhitung, dan menyanyi
dan pada saat itu juga belum ditentukan lama seserang untuk bersekolah. Pada
saat itu hanya ditentukan bahwa setiap anak yang berusia 16 tahun dan anak
wanita yang berusia lebih dari 12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari sekolah.
Kemudian usia itu diturunkan menjadi 12 tahun untuk anak laki-laki dan 10 tahun
untuk anak-anak perempuan.
Pembagian
dalam 3 kelas untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1778. Kelas 3 adalah
kelas terendah dan di sana anak-anak diajari abjad, kelas 2 adalah tempat untuk
belajar membaca, menulis, dan bernyanyi, sedangkan kelas 1 dalah kelas
tertinggi diajari membaca, menulis, katekismus, bernyanyi dan berhitung. Perlu
diketahui bahwa pada saat itu belum dikenal istilah pengajaran klasikal,
artinya pengajaran dilakukan secara individual. Aryinya, seorang murid datang
dan maju ke meja guru lalu ia diberikan bantuan belajar oleh gurunya.
Di sana-sini dipopulerkan untuk mengajarkan bahasa Belanda. Perkembangan pendidikan mulai merosot sejak pertengahan abad ke-18. Saat itu, Jakarta yang berpenduduk 16.000 jiwa hanya mumpunyai murid sebanyak 270 orang, Surabaya hanya 24 orang, dan di seluruh pulau Jawa hanya ada 350 orang murid. Pada tahun 1860 didirikan suatu sekolah menengah yang membuka kesempatan bagi anak-anak Belanda untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas di Negara Belanda atau untuk mendapatkan jabatan yang tinggi dalam dunia pemerintahan.
Pada tahun 1817 Kurikulum pendidikan mulai berubah, kurikulum tiu meliputi bahasa daerah, berhitung, geometri elementer, geografi, sejarah, ilmu alam, menggambar, pedagogic, menulis tangan, dan bernyanyi. Pada tahun 1882, pendidikan bagi anak-anak Indonesia mengalami peningkatan. Jumlah murid Indonesia mencapai 40.992 dan pada tahun 1911 Komite Pendidikan diubah menjadi Departemen Pendidikan dan Agama. Pada tahun 1892 terdapat 6 sekolah guru dengan murid 233 dan 33 orang guru, 516 buah sekolah rendah pemerintah untuk anak peribumi.
Di sana-sini dipopulerkan untuk mengajarkan bahasa Belanda. Perkembangan pendidikan mulai merosot sejak pertengahan abad ke-18. Saat itu, Jakarta yang berpenduduk 16.000 jiwa hanya mumpunyai murid sebanyak 270 orang, Surabaya hanya 24 orang, dan di seluruh pulau Jawa hanya ada 350 orang murid. Pada tahun 1860 didirikan suatu sekolah menengah yang membuka kesempatan bagi anak-anak Belanda untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas di Negara Belanda atau untuk mendapatkan jabatan yang tinggi dalam dunia pemerintahan.
Pada tahun 1817 Kurikulum pendidikan mulai berubah, kurikulum tiu meliputi bahasa daerah, berhitung, geometri elementer, geografi, sejarah, ilmu alam, menggambar, pedagogic, menulis tangan, dan bernyanyi. Pada tahun 1882, pendidikan bagi anak-anak Indonesia mengalami peningkatan. Jumlah murid Indonesia mencapai 40.992 dan pada tahun 1911 Komite Pendidikan diubah menjadi Departemen Pendidikan dan Agama. Pada tahun 1892 terdapat 6 sekolah guru dengan murid 233 dan 33 orang guru, 516 buah sekolah rendah pemerintah untuk anak peribumi.
Tahun
1907 Van Heutz mendirikan sekolah baru yang disebut dengan Sekolah Desa yang
akan menyebarkan cahaya di seluruh Nusantara dan setelah tahun 1918 sekolah itu
terbukti dapat memberikan cahaya bagi Nusantara. Namun demikian, pendapat umum
memandang bahwa pada tahun 1910 Indinesia belum matang untuk mendirikan
Perguruan Tinggi. Sehingga pada tahun 1920 didirikanlah Techniche Hogeschool
(sekarang ITB) di Bandung sebagai pendidikan tinggi pertama di Indonesia.
Semenjak itu lengkaplah system pendidikan di Indonesia, dimana setiap anak
dapat menempuh pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi melalui suatu
rangkaian sekolah.
Techniche
Hogeschool (sekarang ITB) pertama kali menamatkan pada tahun akademik 1923-1924
yakni 9 orang Belanda dan 3 orang Cina. Orang Indonesia pertama kali lulus pada
tahun akademik 1925-1926 dengan jumlah 4 orang dan satu diantarnya adalah Ir.
Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Indonesi sejak dikomandangkannya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya, sejak zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia di dasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tetang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan dalam Bab 1 pasal 1 ayat 1, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Sedangkan ayat 2 menyatakan, bahwa “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Selanjutnya, sejak zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia di dasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tetang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan dalam Bab 1 pasal 1 ayat 1, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Sedangkan ayat 2 menyatakan, bahwa “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Sejak
zaman kemerdekaan pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan yang
pesat, sehingga pada zaman kepemimpinan Ir. Soekarno, pendidikan di Indonesia
dikatakan sebagai system pendidikan yang cukup berhasil dalam membangun
karakter dan kompetensi anak-anak bangsa. Melihat perkembangan system pendidikan
Indonesia yang cukup bagus, tidak jarang bangsa asing yang mengirim pelajarnya
untuk menuntut ilmu di Indonesia dn tidak jarang juga bangsa-bangsa lain yang
meniru dan mengadopsi system pendidikan yang dikembangkan pada zaman itu.
Tahap
berikutnya, pada zaman Orede Baru masalah pendidikan adalah permasalahan yang
cukup diperhatikan oleh pemerintah pada saat itu sehingga pada awal-awal masa
Orede Baru pendidikan di Indoensia juga mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Hanya saja keadaan politik yang morat-marit dan keadaan perekonomian bangsa
Indonesia yang semakin merosot menyebabkan sitem pendidikan juga harus berubah
mengikuti aspek-aspek tersebut. Ahirnya hingga saat ini system pendidikan di
Negara yang kita cintai ini kerapkali mengalami tumpang tindih yang pada
ahirnya rusaklah moral anak bangsa ini.
Perubahan
kurikulum yang terus dipacu dengan tujuan untuk membangkitkan kegemilangan
pendidikan Indonesia juga menjadi permasalahan yang pelik dan masih tetap
menjadi pembicaraan dan perdebatan hangat hingga saat ini. Sejaka tahun 1994
hingga sekarang, setidaknya kurikulum pendidikan kita sudah mengalamai 5 kali
perubahan, mulai dari kurikulum 2004 yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006
yang kemudian dikenal dengan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan
tujuan utama untuk mencetak lulusan yang berkompetensi dalam berbagai bidang.
Hanya saja kurikulum 2004 dan 2006 lebih mengutamakan kuantitas dari pada
kualitas, sehingga ujung-ujungnya adalah manipulasi data yang kemudian
menyebabkan hancurnya karakter anak bangsa.
Belum
selesai kurikulum 2006 diperdebatkan muncul kurikulum 2008 dengan istilah
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan persiapan yang begitu matang
dan landasan hukum yang begitu lama disusun oleh para pembuat kebijakan, maka
diterapkanlah kurikulum KTSP itu dengan berbagai program pembenahan dan
penyempurnaan. Kebingungan terus dirasakan oleh guru yang menjadi ujung tombak
atau pelaksana kurikulum, mereka belum paham apa itu kurikulum 2004 dan 2006.
Tetapi, mereka harus dihadapkan lagi dengan kurikulm 2008 yang aplikasinya dan
materi ajarnya cukup berbeda dengan kurikulum 2004 dan 2006. Dan ketika mereka
sedang dalam kebingungan yang begitu memusingkan, kurikulum 2011 yang bermuatan
karakter dikeluarkan kembali oleh para pembuat kebijakan, ahirnya system
pendidikan Indonesia semakin amburadul akibat terlalu banyaknya perdebatan di
layak kaca dan media massa. Kurikulum berkarakter belm dapat memapankan
dan bahkan belum bisa merubah karakter anak bangsa yang sedang kerisis akan
nilai-nilai pancasila dan moral bangsa Indonesia, dikeluarkan lagi kurikulum
2013 yang semakin membingungkan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Di
sisi lain, moralitas anak bangsa Indonesia sudah hancur lebur sehingga yang
menjadi sorotan adalah sekolah dan para penyelenggara pendidikan mulai dari
Menteri Pendidikan hingga Guru. Masyarakat Indonesia menilai bahwa lembaga
pendidikan telah gagal untuk mendidik anak-anak bangsa ini. Sungguh
memperihatinkan sekali, hanya saja melalui HARDIKNAS tahun ini, mari kita
tingkatkan semangat kita untuk terus dan terus memberikan hal yang terbaik bagi
dunia pendidikan kita. Terutama bagi kita yang bergelut di dunia pendidikan
(guru), diharapkan untuk senantiasa giat dan tidak terpengaruh atas berbagai perubahan
yang terjadi di dalam system pendidikan nasional. Tetap semangat untuk
mengembalikan kejayaan pendidikan Indonesia demi kemajuan dan matabat bangsa
kita di muka dunia.
Memang
saat itu, sudah terlalu banyak program pendidikan yang sangat bagus untuk meningkatkan
mutu pendidikan Indonesia, hanya saja kita belum berani untuk berlaku jujur dan
bijksana di dalam menghadapi aturan yang ada. Contohnya dalam penyelenggaraan
Ujian Ahir Sekolah/Ujian Nasional, hanya demi gengsi dan aksi, banyak diantara
kita yang membuat system baru untuk memberikan nilai yang baik bagi siswa-siswi
kita padahal kenyataannya otak anak-anak kita belum cukup untuk mendapatkan
nilai atau hasil itu. Namun apa boleh buat, itulah system yang harus berlaku
dalam dunia pendidikan kita yang penuh dengan manipulasi.
Hal
ini terbukti dengan banyaknya pengangguran yang ada di sekitar kita.
Pengangguran-pengguran itu begitu banyak yang menyandang gelar Sarjana Strata
Satu (S1). Lalu apa yang menyebabkan mereka harus menjadi pengangguran setelah
orang tua mereka susah payah menyekolahkannya hingga mencapai gelar Sarjan jika
bukan dengan tujuan supaya anak-anak mereka menjadi orang yang bisa dan mampu
bekerja dan menciptakan lapangan kerja. Tetapi, kenyataannya sangatlah berbeda,
ternyata setelah mereka selesai diwisuda, mereka harus bingung mencari kerja ke
mana sebab saingan mereka terlalu banyak.
Bayangkan
setiaptahunnya, Indonesia mencetak jutaan Sarjana tetapi lapangan kerja semakin
menyempit. Tetapi jika kualitas pendidikan yang mereka dapatkan baik dan otak
mereka benar-benar bagus, serta nilai ahir yang mereka dapatkan benar-benar
kemampuan mereka sendiri maka kami yakin mereka akan dapat menciptakan lapangan
sendiri dan bersaing dengan yang lainnya. Hanya saja, sebagian besar diantara mereka
tamat dari sekolahnya sebab adanya manipulasi nilai dan trik-trik lain yang
dilakukan supaya mereka mendapatkan nilai yang sesuai dengan standar kelulusan
yang ditetapkan kurikulum.
2.
Sejarah Perkembangan Kurikulum
diIndonesia
Sejarah
kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri
Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi
standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945,
kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947,
1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Semua kurikulum
nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD
1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan
dalam merealisasikannya.
-
Rencana Pelajaran 1947
Awal
kurikulum terbentuk pada tahun 1947, yang diberi nama Rencana Pembelajaran
1947. Kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan
oleh Belanda karena pada saat itu masih dalam proses perjuangan merebut
kemerdekaan. Yang menjadi ciri utam kurikulum ini adalah lebih menekankan pada
pembentukan karakter manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa
lain.Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer
plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang
curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat
politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas
pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana
Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya
memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus
garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan
pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,
perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Setelah rencana
pembelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan.
Dengan berganti nama menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952.Yang menjadi ciri
dalam kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran
yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
-
Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum
ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai
1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata
pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode
1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan
Tanjung Pinang, Riau.
Di
penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum
1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral
(Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang
studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan
jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional prak tis.Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964 pemerintah kembali
menyempurnakan sistem kurikulum pendidikan di indonesia. Kali ini diberi nama
dengan Rentjana Pendidikan 1964. Yang menjadi ciri dari kurikulum ini
pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana yaitu pengembangan moral,
kecerdasan, emosional, kerigelan dan jasmani.
-
Kurikulum 1968
Usai
tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964.
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah:
bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik
untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum
1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan
struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan
perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Dari
segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan
pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan
keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang
dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia
Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak
menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran
pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak
mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi
apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
-
Kurikulum 1975
Kurikulum
1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menekankan pada tujuan,Kurikulum 1975
menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO
(management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi,
Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode,
materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu
rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi:
petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
-
Kurikulum 1984
Kurikulum
1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum
1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh
penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP
Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA
yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang
diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara
nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang
terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di
sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model
berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
-
Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Terdapat
ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai
berikut:
a.
Pembagian tahapan pelajaran
di sekolah dengan sistem catur wulan.
b.
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran
yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
c.
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu
sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat
kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran
sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
d.
Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan
strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik,
dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang
mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari
satu jawaban) dan penyelidikan.
e.
Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan
kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga
diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada
pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal
dan pemecahan masalah.
f.
Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang
mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
g.
Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan
untuk pemantapan pemahaman.
Kurikulum 2004
Bahasa
kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila
dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah
maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang
ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian
yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski
baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota
besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan.
Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat
kurikulum.
Kurikulum
ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah
peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang
perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu:
(1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar
pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum
dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring
pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum
tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
KTSP 2006
Awal
2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian
target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak
perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru
lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan
lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan
karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan
kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan
telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan
perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan
kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi
pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Kurikulum
yang terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan perkembangan dari
kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada saat ini merupakan
kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan
pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu
mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang guru disini menurut Okvina (2009)
benar-benar digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntuk
kereatifitasan seorang guru. Kurikulum yang kita pakai sekarang ini masih
banyak kekurangan di samping kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain
adalah (1) kurangnya sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP
dengan kata lin masih rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP
seorang guru dituntut untuk lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2)
kurangnya sarana dan prasarana yang dimillki oleh sekolah.
-
KURIKULUM
2013
Dalam pemaparannya di Griya Agung
Gubernuran Sumatera Selatan (kemdikbud.go.id) , Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA menegaskan bahwa kurikukulum terbaru
2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis
sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling
mendasar ialah menuntut kemapuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu
pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari
informasi dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan
untuk siswa lebih didorong untuk memeiliki tanggung jawab kepada lingkungan,
kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berpikir kritias.
Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif.
Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative member kesempatan siswa
untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran
IPA ndan IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Seperti yang dirilis kemdikbud dalam
kemdikbud.go.id ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam
rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013.
1. Kompetensi guru dalam pemahaman substansi
bahan ajar, yang menyangkut metodologi pembelajaran, yang nilainya pada
pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46
2. Kompetensi akademik di mana guru
harus menguasai metode penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa.
3. Kompetensi sosial yang harus
dimiliki guru agar tidak bertindak asocial kepada siswa dan teman sejawat
lainnya.
4. Kompetensi manajerial atau
kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan digugu dan ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam
pelaksanaan kurikulum ini. Kesiapan guru ini akan berdampak pada kegiatan guru
dalam mendorong mampu ;ebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar,
dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka peroleh setelah menerima materi
pembelajaran
3.
Karakteristik Pendidikan
Indonesia
Dalam buku Pengantar Pendidikan, Redja
Mudyahardjo (hal.191) membagi empat bagian Karakteristik Pendidikan Nasional
Indonesia.
1. Karakteristik sosial
budaya
2. Karakteristik dasar dan
fungsi
3. Karakteristik tujuan
4. Karakteristik kesisteman
(sistemik)
1.Karakteristik sosial budaya
Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayan bangsa
Indonesia yaitu kebudayan yang timbul sebagai usaha budi daya rakyat
Indonesia yang berbentuk kebudayaan lama dan asli, kebudayaan baru yang
dikembangkan menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan
persatuan dengan tidak menolak kebudayaan asing yang dapat
mengembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri serta mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia.
Sistem
Pendidikan Nasonal Indonesia berakar pada kebinekaan yang
satu atau Bhineka TunggaL Ika. Sistem Pendidikan Indonesia harus
menyerap dan mengembangkan karakteristik geografi, demografis, sosial budaya,
sosial politik, dan sosial ekonomi daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia
dalam kerangka persatuan dan kesatuan Indonesia.
2. Karakteristik Dasar dan Fungsi
Dasar
yuridis formal dari
sistem pendidikan nasional Indonesia yang bersifat
idiil adalah pancasila sebagai dasar
negara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan yang bersifat
regulasi/mengatur bersumber pada pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Pasal 31 ayat 2
berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.” Ayat ini secara khusus berbicara tentang pendidikan dasar
9 tahun (tingkat SD dan SLTP), bahwa target yang dikehendaki adalah warga
negara yang berpendidikan minimal setingkat SLTP. Ada dua kata
"wajib" dalam ayat ini yang berimplikasi terhadap pelaksanaan lebih
lanjut program wajib belajar. Di antaranya adalah setiap anak usia pendidikan
dasar (6-15 tahun) wajib bersekolah di SD dan SLTP. Karena sifatnya wajib, bila
tidak, semestinya ada sanksi hukum terhadap keluarganya dan juga bagi anaknya.
Sanksi apa yang dikenakan kepada mereka, haruslah jelas. Tidak boleh lagi ada
alasan bahwa seorang anak tidak bersekolah karena ia tidak ingin bersekolah
atau keluarganya tidak mampu membiayainya karena pemerintah wajib membiayainya.
Dalam ayat 2
ini juga mewajibkan pemerintah untuk membiayai pendidikan khususnya pada
pendidikan dasar. Yang menjadi pertanyaan biaya apa sajakah yang akan
ditanggung oleh pemerintah? Apakah masih akan terbatas pada tiga jenis biaya
(gaji, pengadaan alat dan pemeliharaannya, serta penyelenggaraan), atau akan
meliputi juga uang sekolah yang selama dibayarkan melalui BP3, biaya
ujian-ujian? Atau akan termasuk juga buku-buku pelajaran, alat-alat tulis,
pakaian seragam terutama bagi siswa yang kurang mampu? Perlu dicatat bahwa
kalau hanya iuran BP3 yang ditanggung, itu jumlahnya kecil sekali dan jelas
tidak akan banyak membantu meringankan biaya siswa terutama dari kalangan tidak
mampu.
3. Karakteristik Tujuan
Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehiduapn bangsa yang cerdas
adalah kehidupan bangsa dalam segala sektor, politik, ekonomi, keamanan,
kesehatan dan sebagainya. Yang makin menjadi kuat dan berkembang dalam memberikan keadilan dan kemakmuran
bagi setiap warga negara dan negara sehingga mampu menghadapi gejolak apapun.
Tujuan
yang kedua adalah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
luhur. Memiliki pengetahuan dan
keterampilan. Memiliki kesehatan jasmani dan rohani. Memiliki kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebanggaan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
4. Karakteristik Kesisteman
Pendidikan
Nasional merupakan satu keseluruhan kegiatan dan satuan pendidikan yang
dirancang dilaksanakan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan
nasional. Pendidikan nasional mempunyai tugas utama agar tiap-tiap warga negara
berhak mendapatkan pengajaran ( Pasal 31 UUD 1945). Untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya lewat
jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah yang menganut asas pendidikan seumur
hidup.
Pendidikan
Nasional mengatur
bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas tiga jalur utama yakni pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Kurikulum, peserta didik, dan tenaga
kependidikan tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan belajar mengajar.
Pengaturan
penyelenggaraan pendidikan secara terpusat dan tidak
terpusat.Transformasi administrasi dilaksanakan secara sentralisasi, sedangkan
transformasi edukatif di satuan pendidikan dilaksanakan secara
desentralisasi. Penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan
merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Pendidikan
nasional mengatur bahwa satuan dan kegitan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat
memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing
sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila sebagai dasar negara,
ideologi dan pandangan
hidup bangsa.
Pendidikan
nasional memberikan kemudahan bagi pesrta didik untuk memperoleh
pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat, dan tujuan ynag
hendak dicapai, serta memudahkan satuan-satuan dan kegiatan-kegiatan pendidikan
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan
4. Faktor Penyebab Rendahnya Pendidikan
di Indonesia.
1.
Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Menurut detik news (2009), Data Balitbang Depdiknas
(2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung
25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas
tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62%
mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan
berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena
kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di
SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2.
Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan
dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar
dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut : untuk SD
yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12%
(negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta),
serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat
pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari
sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma
D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru
38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah
menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di
tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan
S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor
penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral
pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan
andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas
guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3.
Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII
(Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan
guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan
kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat
penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan
yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab
bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri
menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9
Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan
Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4.
Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,
kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic
and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking
ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44
negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di
bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations
for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang
kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang
berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia
hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan
negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia
(Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of
Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30%
dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal
berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka
sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International
Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan
bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada
pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan
tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia
pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati
peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5.
Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat
Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni
(APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan
di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan
pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini
nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan
pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6.
Rendahnya
Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan
angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan
yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap
tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan
hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7.
Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul
untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak
(TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta.
Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
5. Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan
di Indonesia.
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat)
keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa.
Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses
pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu
terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif, atau
psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah,
dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta
penciptaan suasana yang kondusif.
Mutu pendidikan nasional yang tercermin dalam kompetensi
lulusan satuan-satuan pendidikan dipengaruhi oleh berbagai komponen seperti
proses, isi, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaam, dan penilaian pendidikan yang dapat digambarkan dalam
konstelasi mutu pendidikan sebagai berikut.
Mutu
pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas
proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar
harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar.
Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja pendidik
dan tenaga kependidikan, kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas
pengelolaan, ketersediaan dana, dan system penilaian yang valid, obyektif, dan
tegas. Oleh karena itu perwujudan pendidikan nasional yang bermutu harus
didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga
kependidikan yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi agar
berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan
yang memenuhi standar.
UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SECARA NASIONAL
Banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang
faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia.
Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan
pendidikan nasional tercapai.
Berbagai
upaya yang telah dilakukan secara terencana sejak sepuluh tahun yang lalu.
Hasilnya cukup membanggakan untuk sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di
Indonesia tetapi belum merata dan kurang memuaskan secara nasional.
Adapun proyek-proyek yang telah diluncurkan oleh pemerintah
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya ialah :
a. Proyek Pembangunan Kurikulum
b. Proyek Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS)
c. Proyek Perpustakaan
d. Proyek Bantuan Meningkatkan
Manajemen Mutu (BOMM)
e. Proyek Bantuan Imbal Swadaya (BIS)
f. Pengadaan Buku Paket
g. Proyek Peningkatan Mutu Guru
h. Dana Bantuan Langsung (DBL)
i.
Bantuan
Operasional Sekolah (BOS)
j.
Bantuan
Khusus Murid (BKM)
Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita
simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk
membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Kini berbagai elemen masyarakat mempertanyakan mengapa upaya
yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang berpendapat
mungkin manajemennya yang kurang tepat dan adapula yang mengatakan bahwa
pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan.
Upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional diantaranya yaitu :
1. Memberikan Penghargaan Terhadap Guru
Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan
ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan intrinsic
(pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan
karir).
2. Meningkatkan Profesionalisme
Kecanggihan kurikulum dan panduan manajemen sekolah tidak
akan berarti jika tidak ditangani oleh guru peofesional. UU Sisdiknas No.
20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
3. Menyediakan Sarana dan Prasarana
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih
dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata atau minimal
siswa mendapat gambaran miniature tentang dunia nyata. Harapan itu tidak
mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana
pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar
Pelayanan Minimal (SPm), sekolah harus memiliki persyaratan meinimal untuk
menyelanggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti luas lahan,
perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga,
dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena
dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak
“kebablasan cepat” atau tertinggal di bawah persyaratan minimal sehingga
kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
4. Berantas Korupsi
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari
pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini
anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil
itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dari kekaburan system anggaran
sekolah. Kekaburan dalam system anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala
sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional
pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi
kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004,
tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk
bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerpkan
konsep yang berpijak pada akar masalah.
Dalam
membangun pendidikan itu tidak mudah. Tidak cukup hanya dengan menyediakan
anggaran, tetapi juga harus ada langkah dan program konkret atas dasar
kebutuhan sekolah dan siswa.
Kemudian,
masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan ini.
Bukan hanya menyediakan anggaran kepada sekolah dan menyelenggarakan sesuai
rancangan, tanpa ada keterlibatan masyarakat mustahil penyelenggaraannya bisa
berjalan baik.
Saat
ini, pemerintah fokus untuk menerapkan program pendidikan anak usia dini (PAUD)
hingga ke pelosok desa. Karena, PAUD adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang
pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut yang
diselenggarakan pada jalur normal, nonformal, dan informal.
Peran
serta masyarakat dalam mendorong terwujudnya upaya-upaya meningkatkan mutu
pendidikan terutama program PAUD sangat besar. Kemudian, pentingnya pelaksanaan
program PAUD di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapat memutus mata rantai
kemiskinan dengan berintegrasi bersama program lainnya seperti posyandu, BKB
dan program lainnya, sehingga kualitas SDM terutama pada anak usia dini dapat
terus meningkat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jika dibandingkan dengan
Negara-Negara lain, Pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Penyebabnya
adalah efesiensi, efektifitas dan Standarisasi pendidikan Indonesia yang
terus-menerus berubah tanpa adanya perkembangan yang nyata. Masalah-masalah lainnya yang menjadi penyebabnya yaitu
rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru,
rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas
antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, dan meningkatkan kualitas profesionalisme guru serta prestasi
siswa.
B. SARAN.
Di era Globalisasi saat ini memang
banyak menutut perubahan, khususnya dibidang pendidikan dan juga teknologi.
Agar Negara kita tidak semakin tertinggal jauh dengan Negara lainnya,
dibutuhkan peningkatan kualitas mutu Pendidikan terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya
manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa
ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional
C. DAFTAR PUSTAKA
Mudyahardjo,
Redja. 2010. Pengantar Pendidkan. Suatu Studi Awal
Tentang Dasar Dasar
-----------Pendidikan Pada
Umumnya dan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rajawalki Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar