I.
Pendahuluan
Pada tulisan saya kali ini saya akan menjelaskan tentang situasi nilai rupiah pada akhir-akhir ini dan mengapa nilai rupiah semakin menurun. Pertama-tama saya akan menjelaskan keadaan rupiah pada beberapa hari yang lalu. SEJAK Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama juga dialami oleh mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya.
Selama Juni-Agustus 2013, nilai tukar Lira Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai
tukar Rupee India jatuh sebesar 20 persen; dan nilai tukar Rupiah serta Real
Brazil jatuh sekitar 15 persen Anda pasti tahu kalau nilai rupiah
pada
perdagangan Kamis (28/11/2013) pukul 08.32 WIB, rupiah sempat tembus di kisaran
11.949 per dolar AS. Sebelumnya rupiah berada di kisaran Rp 11.886 per
dolar Amerika Serikat pada Rabu (27/11/2013). Sedangkan kurs tengah Bank
Indonesia (BI) juga dipatok di level Rp 11.813.Pada tulisan saya kali ini saya akan menjelaskan tentang situasi nilai rupiah pada akhir-akhir ini dan mengapa nilai rupiah semakin menurun. Pertama-tama saya akan menjelaskan keadaan rupiah pada beberapa hari yang lalu. SEJAK Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama juga dialami oleh mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya.
Selama Juni-Agustus 2013, nilai tukar Lira
Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai tukar Rupee India jatuh sebesar 20 persen;
dan nilai tukar Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15 persen Anda pasti tahu kalau nilai rupiah pada perdagangan
Kamis (28/11/2013) pukul 08.32 WIB, rupiah sempat tembus di kisaran 11.949 per
dolar AS. Sebelumnya rupiah berada di kisaran Rp 11.886 per dolar
Amerika Serikat pada Rabu (27/11/2013). Sedangkan kurs tengah Bank Indonesia
(BI) juga dipatok di level Rp 11.813.
I.
Isi
Keadaan seperti ini memang tidak baik bagi Indonesia .Dengan
keadaan seperti ini berdampak pada sentimen
positif dari dalam negeri belum mempengaruhi pergerakan rupiah. Pelaku pasar
memiliki kekhawatiran terhadap ekonomi Indonesia terutama defisit neraca
perdagangan dan transaksi berjalan.
Selain itu, pelaku pasar juga mengantisipasi pengumuman defisit
neraca perdagangan pada pekan depan. Analis Bank Mandiri Renny Eka Putri
menambahkan, kondisi ekonomi Amerika Serikat yang terus membaik membuat dolar
Amerika Serikat semakin menguat dan imbasnya rupiah yang tertekan.
Apakah kalian tahu penyebab dari menurunnya Nilai Rupiah ?
Nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh relasi
penawaran-permintaan (supply-demand) atas
mata uang tersebut. Jika permintaan atas sebuah mata uang meningkat, sementara
penawarannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan naik.
Kalau penawaran sebuah mata uang meningkat, sementara permintaannya tetap atau
menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan melemah. Dengan demikian, Rupiah
melemah karena penawaran atasnya tinggi, sementara permintaan atasnya rendah.
Namun, apa yang menyebabkan penawaran atas Rupiah tinggi,
sementara permintaan atasnya rendah? Setidaknya ada dua faktor. Pertama, keluarnya
sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia. Keluarnya investasi
portofolio asing ini menurunkan nilai tukar Rupiah, karena dalam proses ini,
investor menukar Rupiah dengan mata uang negara lain untuk diinvestasikan di
negara lain. Artinya, terjadi peningkatan penawaran atas Rupiah. Adapun
indikasi dari keluarnya investasi portofolio asing ini bisa dilihat dari Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung menurun seiring dengan kecenderungan
menurun dari Rupiah.
Grafik IHSG :
Kenapa investasi portofolio asing ini keluar dari Indonesia?
Alasan yang sering disebut adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS)
untuk mengurangi Quantitative Easing (QE).
Rencana ini dinyatakan oleh Ketua the Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres AS
pada 22 Mei 2013. Tidak lama setelah itu, mata uang di beberapa negara emerging markets pun anjlok (lihat Grafik 1). Yang
dimaksud dengan QE di sini adalah program the Fed untuk mencetak uang dan
membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari bank-bank di AS. Program
ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank di AS demi pemulihan diri
pasca-krisis finansial 2008.
Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS
menyehat. Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS
akan naik. Inilah ekspektasi para investor portofolio yang mengeluarkan
modalnya dari negara-negara emerging markets.
Mereka melihat bahwa di depan, investasi portofolio di AS akan lebih
menguntungkan daripada di negara-negara emerging markets.
Dalam tiga bulan terakhir, yield obligasi jangka panjang pemerintah AS sendiri
telah naik. Sebagai contoh, yield obligasi 10-tahun pemerintah AS yang menjadi benchmark, naik sekitar 125 bps dalam tiga bulan
terakhir.[2]
Faktor kedua yang
menyebabkan penawaran tinggi dan permintaan rendah atas Rupiah adalah neraca
nilai perdagangan Indonesia yang defisit. Artinya, ekspor lebih kecil daripada
impor. Dalam Tabel 1 di bawah, kita bisa lihat, defisit neraca nilai
perdagangan Indonesia selama Januari-Juli 2013 adalah -5,65 miliar Dollar AS.
Sektor nonmigas sebenarnya mengalami surplus 1,99 miliar Dollar AS. Namun,
surplus di sektor nonmigas tidak bisa mengimbangi defisit yang sangat besar di
sektor migas, yakni sebesar -7,64 miliar Dollar AS.
Tabel 1
Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Januari-Juli 2013
(Miliar US$)
Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Januari-Juli 2013
(Miliar US$)
Ekspor
|
Impor
|
Neraca
|
|||||||
Bulan
|
Migas
|
Nonmigas
|
Total
|
Migas
|
Nonmigas
|
Total
|
Migas
|
Nonmigas
|
Total
|
Januari
|
2,66
|
12,72
|
15,38
|
3,97
|
11,48
|
15,45
|
-1,31
|
1,24
|
-0,07
|
Februari
|
2,57
|
12,45
|
15,02
|
3,64
|
11,67
|
15,31
|
-1,07
|
0,78
|
-0,29
|
Maret
|
2,93
|
12,09
|
15,02
|
3,90
|
10,99
|
14,89
|
-0,97
|
1,10
|
-0,13
|
April
|
2,45
|
12,31
|
14,76
|
3,63
|
12,83
|
16,46
|
-1,18
|
-0,52
|
-1,70
|
Mei
|
2,92
|
13,21
|
16,13
|
3,44
|
13,22
|
16,66
|
-0,52
|
-0,01
|
-0,53
|
Juni
|
2,80
|
11,96
|
14,76
|
3,53
|
12,11
|
15,64
|
-0,73
|
-0,15
|
-0,88
|
Juli
|
2,28
|
12,83
|
15,11
|
4,14
|
13,28
|
17,42
|
-1,86
|
-0,45
|
-2,31
|
Jan-Juli
|
18,61
|
87,57
|
106,18
|
26,25
|
85,58
|
111,83
|
-7,64
|
1,99
|
-5,65
|
Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, No. 58/09/Th. XVI, 2 September
2013, hlm. 14,http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_02sep13.pdf.
Dinamika ekspor-impor
memang bisa berdampak pada nilai tukar mata uang. Ekspor meningkatkan
permintaan atas mata uang negara eksportir, karena dalam ekspor, biasanya
terjadi pertukaran mata uang negara tujuan dengan mata uang negara eksportir.
Pertukaran ini terjadi karena si eksportir membutuhkan hasil akhir ekspor dalam
bentuk mata uang negerinya agar bisa ia pakai dalam usahanya. Sebaliknya, impor
meningkatkan penawaran atas mata uang negara importir, karena dalam impor,
biasanya terjadi pertukaran mata uang negara importir dengan mata uang negara
asal. Karena selama Januari-Juli 2013, impor Indonesia lebih kecil daripada
ekspornya, maka situasi ini telah melemahkan nilai tukar Rupiah.
Apa Dampak Melemahnya Rupiah?
Apa dampak pelemahan
Rupiah? Ketika nilai tukar sebuah mata uang melemah, maka yang biasanya
mencolok terkena dampaknya adalah harga komoditi impor, baik yang menjadi obyek
konsumsi maupun alat produksi (bahan baku dan barang modal). Karena harga
komoditi impor dipatok dengan mata uang negara asal, maka jika nilai mata uang
negara tujuan jatuh, harga komoditi impor akan naik. Misalnya, jika di
Indonesia, nilai tukar Rupiah jatuh sebesar 10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah
menjadi 1 Dollar AS = 9.900 Rupiah, maka harga komoditi impor pun akan naik
sebesar 10%. Komoditi yang harganya Rp1,5 juta akan naik Rp150 ribu menjadi
Rp1,65 juta.
Dari data BPS, kita bisa lihat inflasi di bulan Juni adalah 1,03
persen, lalu meningkat menjadi 3,29 persen pada Juli. Sementara, pada bulan
Agustus, inflasi menurun menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender
(Januari-Agustus) 2013 adalah 7,94 persen dan ini merupakan inflasi tahunan
tertinggi sejak 2009.[3] Untuk barang konsumsi,
yang harganya akan naik bukan hanya barang-barang konsumsi impor, namun juga
barang-barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri, tetapi (sebagian besar)
alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor. Harga tahu tempe,
misalnya, naik 20-25 persen, karena bahan bakunya berupa kedelai diimpor.[4]
Saya belum mendapat
data tentang proporsi alat-alat produksi impor dari total alat produksi di
Indonesia. Namun, kita bisa mendapat gambaran kasar tentang hal ini dari
perbandingan antara impor barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal
di Indonesia. Kalau kita lihat Tabel 2, proporsi impor terbesar pada
Januari-Juli 2013 adalah impor bahan baku/penolong, yakni 76,16% dari total
impor. Kemudian urutan kedua ditempati oleh impor barang modal (mesin-mesin,
dan sebagainya), sebesar 16,87% dari total impor. Di urutan terakhir baru kita
dapati impor barang konsumsi dengan besaran 6,97% dari total impor. Dari data
ini, kita bisa menduga bahwa penggunaan alat-alat produksi impor dalam industri
Indonesia cukup tinggi.
Tabel 2
Impor Indonesia Menurut Golongan Penggunaan Barang Januari-Juli 2013
Impor Indonesia Menurut Golongan Penggunaan Barang Januari-Juli 2013
Penggunaan Golongan Barang
|
Nilai CIF (Juta US$)
Januari-Juli 2013
|
Peran terhadap Total Impor Januari-Juli 2013
(%)
|
Barang Konsumsi
|
7.799,0
|
6,97
|
Bahan Baku/Penolong
|
85.162,4
|
76,16
|
Barang Modal
|
18.867,0
|
16,87
|
Total Impor
|
111.828,4
|
100,00
|
Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, op. cit.,
hlm. 12.
Siapa saja yang akan terpukul oleh kenaikan harga komoditi impor
ini? Pertama, konsumen, terutama konsumen kelas bawah,
sejauh pendapatan mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang. Kedua, pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi
impor mulai dari importir sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam
negeri yang menyusut. Misalnya, belakangan ini, para importir bahan kebutuhan
pokok di Batam sudah menghentikan aktivitas usahanya.[5] Ketiga, para usahawan yang berorientasi pasar dalam
negeri, namun alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti
pengusaha tekstil, alas kaki, kemasan, dan sebagainya.[6] Keempat, rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi
konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh
pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan
nilai utang luar negeri (dibahas di bawah), dan penyusutan pasar dalam negeri.
Namun, anjloknya Rupiah bukan hanya berdampak pada kenaikan
harga komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan
nominal Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan
mata uang asing.[7] Logikanya sama dengan
dampak pelemahan Rupiah pada komoditi impor. Jika di Indonesia, nilai tukar
Rupiah berbanding Dollar AS jatuh sebesar 30%, maka nominal Rupiah dari utang
yang dipatok dalam Dollar AS akan naik sebesar 30%. Sampai dengan Maret 2013,
total utang luar negeri Indonesia adalah 254,295 miliar Dollar AS, dengan utang
pemerintah dan bank sentral sebesar 124,151 miliar Dollar AS serta utang swasta
sebesar 130,144 miliar Dollar AS.[8]
Apa dan siapa saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal
Rupiah dari utang luar negeri Indonesia ini? Pertama, untuk utang
swasta jelas (1) pengusaha yang berutang, dan (2) para pekerjanya yang akan
ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut. Kedua,
untuk utang pemerintah, yang akan terpukul adalah (1) anggaran negara atau
APBN, dimana ketika anggaran terjepit, rezim neoliberal biasanya akan
mengurangi atau mencabut subsidi untuk rakyat, sehingga (2) rakyat secara umum
juga akan terkena dampaknya. Ketiga, pembayaran
utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran atas Rupiah, karena
uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar dengan mata uang pembayaran
utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa semakin lemah.
Lalu, siapa yang diuntungkan oleh krisis Rupiah? Jika mata uang
suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor ekspor yang bahan
bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Misalnya, PT Energizer
Indonesia yang memproduksi baterai Eveready yang sebagian besarnya diekspor,[9] eksportir udang,[10] dan eksportir kakao
di Sulawesi Selatan.[11] Namun, ini tidak
berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor
kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari
kenaikan harga barang ekspor itu “dibatalkan” oleh harga bahan baku impornya
yang mahal.[12]
III.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas, kita dapati bahwa jatuhnya nilai
tukar Rupiah disebabkan oleh setidaknya dua faktor, yakni (1) keluarnya
sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia akibat rencana
pengurangan QE oleh the Fed; (2) neraca nilai perdagangan Indonesia yang
defisit. Adapun dampaknya adalah (1) kenaikan harga komoditi impor, baik yang
menjadi obyek konsumsi maupun alat produksi. Adapun kenaikan harga alat-alat
produksi impor bisa berdampak pada kenaikan harga komoditi yang diproduksi di dalam
negeri, tetapi (sebagian besar) alat-alat produksinya impor; (2) kenaikan
nominal Rupiah dari utang luar negeri. Kedua dampak ini, pada gilirannya, akan
memukul berbagai lapisan masyarakat.
Namun, perlu disebutkan di sini bahwa “penyebab” yang dipaparkan
di atas barulah “penyebab langsungnya” (immediate causes),
bukan “akar masalahnya.” Pembahasan tentang akar masalah berada di luar lingkup
tulisan ini. Tetapi, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan sebagai titik
berangkat untuk menelusuri akar masalahnya. Pertama, terkait dengan keluarnya investasi portofolio
asing dari Indonesia, ini sebenarnya merupakan masalah klasik mengenai
mobilitas kapital antar-negara. Tingkat mobilitas kapital yang tinggi
menyebabkan volatilitas mata uang.Tapi saat ini yang bisa dilakukan adalah
dengan cara menaikkan suku bunga acuan untuk membuat nilai rupiah positif. Tapi kenaikan suku bunga
acuan tidak serta merta membuat rupiah langsung menguat. Kenaikan suku bunga
acuan setidaknya membuat rupiah menjadi menarik. Pertanyaannya, apa yang
memungkinkan adanya tingkat mobilitas kapital seperti itu? Dan mengingat efek
destruktifnya, bagaimana cara melawan mobilitas kapital yang seperti itu? Kedua, terkait
dengan tingginya impor Indonesia, pertanyaannya adalah kenapa impor kita bisa
seperti itu? Dan bagaimana cara melepaskan ketergantungan ekonomi kita terhadap
impor?
IV.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar